Tuesday 28 February 2017

MAKNA DIAM MENURUT MAULANA RUMI

MAKNA DIAM MENURUT MAULANA RUMI
Diam atau hening dalam ranah sufistik termasuk pembahasan yang sangat penting dan juga tentu menarik. Apalagi pembahasan ini hampir hadir dalam seluruh agama dan juga aliran spiritual lainnya. Salah satu ungkapan yang sangat terkenal dalam pemikiran tasawuf, “siapa yang mengenal Tuhan-Nya, lidahnya akan menjadi bisu”.
Maulana Rumi adalah salah satu sufi yang memberikan ruang khusus dalam menjelaskan persoalan hening dan diam. Namun kira-kira mengapa kaum sufi begitu menaruh perhatian tentang diam dan hening? Berikut ini di antara beberapa faktor yang menjelaskan posisi diam dalam persoalan tasawuf dan juga menjelaskan beberapa karekteristik diam:
1. Rahsia Ilahi tidak sepatutnya diungkapkan di majlis-majlis yang sebahagian besar dihadiri oleh orang-orang awam.
2. Diam atau hening ialah salah satu dari adab suluk sebab diam akan mensucikan batin manusia. Syekh Sahal Sustari (salah satu sufi besar) mengatakan, “hening tak akan dicapai dengan sempurna kecuali dengan khalwat, dan taubat tidak akan benar kecuali dengan hening”.
3. Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Jika engkau tak ingin dihasut syaitan, hilangkan ego dan keakuan dan berlindunglah pada kejujuran,
Jika kau tak punya kejujuran, paling tidak, diamlah. Kerana perkataan menegaskan ‘kita’ dan ‘saya’.
Perkataan yang menetap di hati akan menguatkan nalar, Efek dari diam, nalar jiwa akan menemukan segala yang dicari.
Namun saat kau berkata, nalarmu yang sangat aktif, Kurangilah nalarmu agar kau tetap baik,
Seseorang yang kurang bicaranya, fikirannya tinggi, Namun saat bicara yang banyak, nalar pun sirna.
4. Bagi Rumi tanpa bahasa adalah suatu bentuk dari bahasa itu sendiri. Maksudnya terkadang dalam memahami sesuatu yang tak terfahami didapati melalui keheningan dengan bertanya ke dalam diri kita.
5. Diam pada hakikatnya difahami sebagai suatu pengalaman. Khususnya makrifat terkait dengan Tuhan pada tahapan tertentu tak lagi mampu terwakili oleh kata-kata. Di sini manusia memerlukan suatu bentuk keheningan agar manusia dapat memahaminya melalui pengalaman ke dalam diri yang paling batin.
6. Kata Rumi dalam Matsnawi:
Seorang arif mulutnya tertutup, namun hatinya penuh rahsia, Mulutnya tak bergerak, namun ada lantunan melodi di dalam hatinya,
Para arif yang telah meraih medali Ilahi, meski rahsia bersama dirinya, Namun mereka menyembunyikannya.
Ia mengajarkan rahsia perbuatan kepada siapa saja yang lidahnya diam, dan mulutnya tertutup.
7. Pada prinsipnya, alam makna adalah alam keheningan (tanpa bentuk dan tanpa fizikal) yang justeru bertindak sebagai penggerak alam material. Oleh sebab itu tak hairan jika para sufi mengarahkan seluruh eksistensinya menuju alam keheningan.
8. Keheningan akan membuahkan kemurnian dan dari kemurnian akan membuahkan bahasa yang paling indah sebagaimana yang dihasilkan oleh kaum sufi dalam membahasakan pengalamannya.
9. Kata Maulana Rumi:
Makanan Nafsul Muthmainnah adalah diam, Makanan Nafsun Nathiqah adalah perkataan.
10. Diam termasuk salah satu faktor yang mampu memisahkan antara hak dan batil. Tanpa simbol dan kesirnaan mutlak dapat ditemukan dalam keheningan. Saat manusia diam, rahsia-rahsia akan mendekat kepadanya dan hatinya terbuka dalam mendengarkan rahsia-rahsia.
11. Esensi diam sangat terkait dengan esensi cinta. Mereka yang memahami makna diam akan memahami pula makna cinta sebab ada kaitan erat antara cinta dengan diam dalam tradisi sufi.

No comments:

Post a Comment