Sunday 27 January 2019

MENGISLAMKAN JAWA DAN MENJAWAKAN ISLAM


Bahan Bacaan dikala senggang.
Oleh Dimas Supriyanto
MENGISLAMKAN JAWA DAN MENJAWAKAN ISLAM
- Lewat bukunya, ‘Mengislamkan Jawa’, Merle Calvin Ricklefs, profesor Australian National University (ANU), menyatakan bahwa sejatinya “orang Jawa tak pernah ikhlas menerima Islam”.
Sebagai orang Jawa, yang mencintai leluhur budaya Jawa - dan memuliakan budaya Jawa yang luhur - izinkan saya melengkapinya. Bahwa orang Jawa juga tidak ikhlas menerima Kristen, orang Jawa tidak ikhlas menerima Budha, tidak ikhlas menerima Hindu dan lainnya. Sebab, orang Jawa begitu mencintai budaya kepercayaan leluhur mereka sendiri, yang biasa disebut ‘Kejawen’.
Karena itu, bisa dikatakan nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami ‘pen-Jawa-an’ atau ‘Jawanisasi’ - yang dalam istilah akademis disebut ‘Sinkretisme’.
‘Sinkretisme’ adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampur-adukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan.
Semoga Anda pernah mendengar sebutan ‘Islam Jawa’, ‘Kristen Jawa’, ‘Budha Jawa’ dan ‘Hindu Jawa’, yang masing masingnya berbeda dengan ajaran asli di negeri asalnya. Sebab, Islam di tanah Jawa tidak sama dengan Arab. Hindu di tanah Jawa tidak sama dengan India. Kristen di tanah Jawa tidak sama dengan Vatikan. Budha di tanah Jawa juga tidak sama dengan Himalaya dan China.
Budaya Jawa adalah budaya besar. Tidak ada yang masuk ke tanah Jawa tanpa “menjadi Jawa”.
Hanya produk teknologi ‘built up’ saja yang tidak bisa di-Jawa-kan. Misalnya, ‘iPhone Jawa’, ‘Samsung Jawa’ atau ‘Mercy Jawa’. Tapi, kalau Anda jalan jalan ke Jepang dijamin tidak ketemu ‘Toyota Kijang’. Karena ‘Kijang’ khas produk Indonesia, meski mesinnya masih Jepang. Tapi digagas dan dirakit di pulau Jawa.
Ada pameo: “Islam masuk Sumatra - Sumatra menjadi Islam. Islam masuk Kalimantan - Kalimantan menjadi Islam, Islam masuk Sulawesi - Sulawesi menjadi Islam, tapi Islam masuk Jawa, Islam menjadi Jawa.
Islam Jawa adalah Islam yang lain. Islam Jawa memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tapi juga menghormati, mengakui kekuasaan dan memberikan pengistimewaan pada Nyi Roro Kidul. Penguasa Laut Selatan. Islam yang mengupacarakan Malam Satu Suro dan Grebeg Maulid dengan mengarak tujuh 'gunungan' dari Raja kepada rakyat di sekitar Kraton.
SESUNGGUHNYA, jika Anda sudi merujuk pada sejarah, Jawa tidak membutuhkan Islam. Islam lah yang membutuhkan Jawa. Sebab, untuk apa para penyebar Islam dari negeri Hadratul Maut dan Yunnan - Cina jauh jauh sampai ke pulau Jawa? Jika tidak membutuhkan Jawa?
Tanpa Islam, kerajaan di Nusantara hebat-hebat. Justru setelah ada Islam, kerajaan besar di Jawa tak ada sisanya. Kesultanan kesultanan Islam tak pernah bersatu dan dengan mudahnya dipecah belah oleh Belanda, sehingga penjajahan berlangsung ratusan tahun.
Bukankah umat Islam pun mengakui bahwa hanya dengan cara-cara adaptasi dan pendekatan budaya, Wali Songo bisa mengislamkan Tanah Jawa? Barangkali, hal itu sesuai dengan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” ? Atau Sebagaimana kata Julian Pitt-Rivers (1963) dalam esainya tentang sosiologi Mediteranea, “You cannot be a Brahmin in the English countryside”..
Untuk menjawakan Islam, dalam 'Kitab Usulbiyah' yang ditulis Sultan Agung, digambarkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengenakan mahkota emas dari Majapahit. Tak hanya itu, dikatakan bahwa membaca kitab ini setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam.
Misalnya, dalam Serat Wedhatama (Kebijakan yang Lebih Agung), Mangkunegara IV bersyair:
Jika kalian berkeras untuk meniru
teladan Sang Nabi
duhai Putra-putriku,
kalian melakukan hal yang mustahil
artinya kalian tak akan bertahan lama
karena kalian ini orang Jawa
sedikit saja sudahlah cukup.
PENENTANGAN terhadap pengislaman Tanah Jawa tidak lekang oleh waktu. Setelah sebagian besar Jawa menganut Islam pun, penentangan tak berhenti. Misalnya, pada 1870-an, para penulis di Kediri meramu berbagai ejekan dan olok-olok mengenai Islam dalam tiga karya sastra, ‘Babad Kedhiri’, ‘Suluk Gatholoco’ dan ‘Serat Darmogandul’.
Tiga karya itu adalah karya yang tak jarang sarkastis. Versi lebih lunak yang menginginkan agar orang-orang Jawa tetaplah “nJawani” dan tidak berlaku laiknya orang Arab yang dalam sisi lain dipandang menjadi seorang Muslim “kaffah” atau seutuhnya – sebagaimana yang selalu didengungkan ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Agama mana pun yang tidak berkembang mengikuti zaman lambat laun akan ditinggalkan. Katolik berkembang mengikuti zaman. Bandingkan pandangan Katolik era Galileo dengan hari ini.
Seberapa banyak yang masih aktif ke gereja di negara-negara yang dulu kuat keKristenannya? Seberapa "kristen" orang orang Amerika dan Ingris di hari ini?
Islam selalu berkembang, ajaran Kejawen juga begitu. Meski secara politis terus mengalami tekanan. Sebagai paham keyakinan dari negeri sendiri, dari Bumi Pertiwi, justru dipinggirkan, dimarjilaisasi oleh agama agama asing dan agama pendatang.
Sekali lagi, Budaya Jawa adalah budaya besar. Tidak ada yang masuk ke budaya Jawa tanpa menjadi Jawa.
Pada agama Budha yang relatif tidak mengenal konsep ‘Divine’ alias ‘Causa Prima’, konsepsi Budha di Jawa mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, konsep Hindu tentang Tiga Dewa Utama (Trimurti), diadaptasi ke dalam konsepsi Jawa dengan penambahan ‘Sang Hyang Widhi’.
Demikian pula pada saat kedatangan Kristen. Kyai Sadrach, misionaris pribumi yang tergolong sukses melakukan Kristenisasi Jawa melalui sinkretisme. Tidak hanya mencantumkan ‘Kyai’ di depan namanya - Kyai Sadrach – dia juga menggunakan banyak tradisi Jawa dalam menyukseskan agenda misi Kristen-nya.
Sinkretisme budaya Jawa tak hanya dilakukan misionaris pribumi. Conrad Laurens Coolen, misionaris keturunan Rusia-Solo, meraih sukses dalam misi Kristenisasi juga dengan cara yang disebutnya ‘kontekstualisasi’.
Coolen, misalnya, tak ragu memakai jampi-jampi dan mantera dalam upayanya.
Bahkan Conrad Laurens Coolen dengan yakin memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa. Misalnya, karena masyarakat Jawa yang agraris mempercayai Dewi Sri, Coolen melakukan ritual dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri, diakhiri dengan nama Yesus yang diajarkannya merupakan Dewa yang lebih besar.
DALAM PIDATONYA yang termashur, tokoh Proklamator kita Bung Karno pun menasehatkan : “Jadilah Islam tapi jangan jadi Arab, jadilah Kristen tapi tidak menjadi Yahudi, Jadilah Hindu, tapi bukan India, jadi Budha tapi tidak jadi Himalaya”.
“Dapatkanlah Api Islam, bukan abunya, “ katanya. Jangan jadi Islam sontoloyo, kata Bung Karno. Bahkan jauh jauh hari, sebelum jadi presiden, Soekarno menulis “Kini bukan masyarakat Onta, tetapi masyarakat Kapal Udara” sebagaimana yang terdokumentasi dalam artikelnya di majalah ‘Panji Islam’ di tahun 1940.
Maka, bagi orang Jawa, jadilah Islam tanpa kehilangan kesadaran dan jati diri sebagai Jawa. Sebab orang Jawa ciptaan tuhan juga. Dan tuhan tentulah ingin mempertahankan keJawaan orang Jawa dan tidak menjadi orang lain – menjadi keArabAraban, misalnya.
Bagi orang Jawa, agama adalah pakaian – ‘agomo iku ageming ati’ atau agama itu busana hati - jadi memakai pakaian apa pun entah itu Islam, Hindu, Kristen atau Budha tidak masalah untuk orang Jawa. Sebab, sejatinya tubuh mereka tetap Jawa.
Jangan sampai lahir dan besar sebagai orang Jawa, makan dan minum bahkan mati di Tanah Jawa, namun kehilangan keJawaannya. Almarhum Bapak saya menyebut, “wong Jowo sing wis ilang Jawane”.
Jadilah orang Jawa yang sesungguhnya. Jangan jadi fotokopi Arab, Palestina atau Himalaya atau Sungai Gangga. Anda lahir di Jawa, besar di Jawa dan Insya illah mati di Jawa. Kita makan minum dari tanah air pulau Jawa. Sudah seharusnya kita ‘ngrungkebi’ bumi kelahiran kita ini.
Gusti tuhan itu bukan hanya milik orang Arab, Palestina, dan India. Gusti tuhan milik orang Jawa juga.
Identitas dan kekhasan Jawa di seluruh dunia sampai kini pun tetap Jawa yang Hinduis dan Budhis, sebagaimana tercermin dari icon Borobudur dan Prambanan. Sedangkan Indonesia terkenal dengan tarian Bali, lompat batu di Nias atau Rumah Toraja dan patung Asmat.
Bukan masjid Istiqlal atau Masjid Kubah Emas. *

No comments:

Post a Comment