Monday 22 January 2018

HIKAM IBNU AROBI

HIKAM IBNU AROBI
adalah antaa kitab-kitab Hikam yang masyhur dalam ilmu tasawuf selain
Hikam Abi Madyan, Hikam Ibn ‘Ata’illah, Hikam al-Haddad dan lain-lain.
Ia mengandungi bebagai hikmah dan kaedah sufiyyah, dan telah
disyaah oleh bebeapa ulama antaanya oleh; Syeikh Muhammad
bin Mahmud bin ‘Ali al-Damauni
dan Syeikh Mulla Hasan bin Musa al-Kudi al-Bani. Sebahagiannya telah
ditejemahkan ke bahasa Melayu
sepeti yang dapat dilihat
dalam lawan sesawang Syeikh Yusuf Muhyiddin al-Bakhu al-Hasani

Di bawah ini saya pilih 21 buah hikam daipadanya untuk kita enungi
dan ambil iktiba, iaitu:
كل منحة وافقت هواك، فهي محنة، وكل محنة خالفت هواك فهي منحة
1 Segala anugeah yang sesuai dengan hawa nafsumu maka itu adalah
ujian, dan segala ujian yang menyalahi hawa nafsumu maka itu adalah
anugeah.
ليس الزاهد من زهد في الدرهم والدينار، إنما الزاهد من زهد فيما سوى الجبار
2. Seoang zahid bukanlah oang yang zuhud dai diham dan dina
(hata), akan tetapi seoang zahid adalah yang zuhud dai yang selain
daipada Yang Maha Pekasa (Allah).
لا ينال غاية رضاه من في قلبه شيء سواه
3. Tidak akan mempeoleh puncak keedhaanNYA seoang yang di dalam
hatinya ada sesuatu yang selain NYA.
لا يرتجى الوصول ممن لم يتابع الرسول
4. Tidak dapat dihaapkan sampai kepada Allah dai oang yang tidak
mengikuti asululllah SAW.
لا يعرف ما نقول إلا من اقتفى أثر الرسول
5. Tidak akan faham apa yang kami katakan, kecuali oang yang telah
mengikuti jejak asulullah <http:en.wikipedia.ogwikiApostle_of_God>
SAW.
لا تأخذ العلم إلا عمن يعمل به
6. Janganlah engkau mengambil ilmu kecuali dai oang yang mengamalkannya.
ما دمت في طلب الحق، فلا تقف مع الخلق
7. Selama engkau dalam pencaian al-Haq (Allah), maka janganlah
bedii besama makhluk.
من أخلص لله نيته، تولاه الله
وملائكته
8. Baangsiapa yang ikhlas niatnya kaena Allah semata-mata, maka
Allah dan paa malaikatNYA akan melindunginya.
من لم يأخذ الطريق من الرجال، فهو ينتقل من محال إلى محال
9. Baangsiapa yang tidak mengambil jalan ini (jalan menuju kepada
Allah) daipada paa ijal (ahli ma’ifah), maka ia teus bepindah dai
mustahil kepada mustahil.
لا تكون عبدا لله، وأنت تميل إلى شيء سواه
10. Engkau tidak akan menjadi hamba bagi Allah sedang engkau cendeung
(hati) kepada sesuatu yang selainNYA.
لا تصحب من الرجال إلا من كان حاله يترجم دون المقال
11. Janganlah engkau besahabat kepada paa ijal melainkan oang yang
halnya (peilaku zahi dan batinnya) mentejemahkan diinya, bukan
pekataannya.
الحقيقة لا ينطق بها لسان، بل هي ذوق ووجدان
12. Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah
peasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan).
من عرف الحق، استغنى به عن الخلق
13. Baangsiapa telah mengenal al-Haq (Allah), maka ia tidak lagi
memelukan makhluk.
من توكل على الله في جميع أموره ووالاه، أتاه برزق من حيث لا يحتسب وتولاه
14. Baangsiapa yang betawakal kepada Allah dalam semua uusan dan
taat setia kepadaNYA, maka Allah akan mendatangkan ezekinya dai sumbe
yang ia tidak sangka-sangka dan Allah akan melindunginya.
لا تصحب من الإخوان إلا صادق اللسان
15. Janganlah engkau besahabat kepada teman-teman melainkan yang
juju pekataannya.
أكل الشبهات يورث في القلب القساوات
16. Memakan yang subhat itu dapat mewaiskan hati yang keas.
من قنع من الدنيا باليسير، هان عليه كل عسير
17. Baangsiapa yang meneima hatinya (qana’ah) dengan dunia (hata)
yang sedikit, maka akan mudah baginya segala kesulitan.
من لازم ذكر الله، قطعه عن كل شيء سواه
18. Baangsiapa yang melazimkan ziki Allah, maka Allah akan
memutuskan dia dai segala sesuatu selainNYA.
التوبة هي ترك الإصرار وملازمة الاستغفار
19. Taubat itu ialah meninggalkan kebiasaan membuat dosa seta
melazimi istighfa.
من أصدق توجهه إلى الله، أعطاه الله كل ما يتمناه
20. Sesiapa yang juju penumpuan hatinya menghadap kepada Allah (sidq
tawajjuh) maka Allah akan membeikannya segala yang ia haapkan.
من خاف الله مولاه، خاف منه كل ما سواه
21. Baangsiapa yang takut kepada Allah sebagai Tuhannya, maka akan
takut kepadanya segala yang selainNYA.
HATI
Kata ‘hati’ dinisbahkan kepada hati (sebagai benda) indeawi yang
betempat di dalam dada; sedangkan Allah menisbahkan kata ‘hati’ kepada hati dalam makna bebeda yang juga tedapat di dalam dada, yang erat
kaitannya dengan hati indeawi (bendawi). Hati dalam pengetian yang
bebeda itu adalah tempat iman dan
kekufuan. Para penyair dan pujangga membicaakan masalah hati sebagai tempat asa: baik itu asa cinta atau asa benci. Tidak syak lagi bahwa tedapat kaitan pengetian antaa hati menuut pengetian penyai dan pujangga dengan
hati sebagai tempat dai kekufuan, kemunafikan, dan iman. Sebagaimana
akan kita saksikan nanti bahwa hati bendawi meupakan satu hal dan hati
dalam pengetian yang teakhi adalah hal lain.Tidakkah Anda saksikan meeka yang beupaya mengubah hati bendawi
menjadi hati yang hidup tidak menghasilkan apa apa, yang beupa asa dan peasaan? Bila Anda memahami makna ini, Anda pasti tahu pebedaan antara hati menuut teminologi Allah dan hati menuut teminologi manusia.
Keancuan pengetian dalam masalah ini akan mengakibatkan kesalahan yang
tidak sedikit.
Keancuan ini tidak saja tejangkit pada masalah pengetian hati, tapi juga pada pengetian tentang uh, jiwa, dan akal. Tentunya keancuan-¬keancuan itu menyebabkan keacuan keacuan lain yang
bekaitan dengan masalah akidah. Itulah sebabnya paa ulama menganggap
pembicaaan tentang hati, uh, jiwa dan akal sebagai salah satu objek
dai ilmu akidah (teologi); dan temasuk salah satu objek dai studi ilmu tasawuf, bahkan ia meupakan pusat tepenting dai disiplin ilmu ini. Paa ulama membahasnya dalam ilmu akidah, kaena dalam masalah
masalah itu tedapat segi segi yang gaib (metafisik). Dan incian pesoalan tentang masalah masalah yang gaib hanya ada pada Allah, sebab hanya Dia lah yang membicaakan hal itu pada kita; maka posisi (sikap) kita dalam pesoalan semacam ini adalah yakin dan meneima (pasah). Sungguhpun demikian, pesoalan pesoalan gaib tesebut memiliki sisi
atau segi segi indeawi dan peniliknya dapat measakannya, sebagaimana
oang lain dapat measakan pengauhnya juga. Oleh sebab itu, maka
masalah ini dai satu sisi temasuk hal gaib (metafisik), tetapi di sisi
lain temasuk hal yang konket (fisik). Pengalaman dan peasaan manusia
bepengauh besa dalam mengetahui pesoalan ini, sebab topik ini saling
kait mengait. Di dalamnya tejadi saling ketekaitan antaa masalah
masalah akidah, tasawuf, unsu ilmu pengetahuan (sains) dan pengalaman
(empiis). Maka tidak hean kalau satu kalangan mempunyai pesepsi yang
bebeda dengan kalangan kalangan lain tentang masalah ini.
Yang mampu meletakkan pesoalan pesoalan sepeti tesebut di atas pada
posi yang sebenanya hanyalah seoang Muslim yang bewa¬wasan luas, kaena dia
mendapatkan pancaan cahaya dai Tuhannya. Tuhannya lah yang menunjukkan jalan, teoi, atau metode paktis yang mampu mengantakannya pada pengenalan tehadap segala masalah dengan caa dan teoinya masing
masing. Maka apabila pengalaman yang dapat mengantakannya kepada
pengetahuan, beati pengalaman itulah sebagai caa dan teoi. Bila akal
pikian yang dapat mengantakan¬nya pada pengetahuan, maka jalan menuju
hal tesebut adalah akal¬ pikian, dan apabila penjelasan Allah yang
dapat menyampaikannya pada pengetahuan itu, maka penjelasan itu adalah jalan dan teorinya.
Tak lupa saya katakan di sini bahwa masalah masalah akidah tidak dapat
dipisahkan dai masalah masalah kehakikatan (at tahaqquq), at¬-tadzawwuq
(upaya measakan asa uhaniah), dan as suluk (bejalan menuju Allah).
Pembahasan tentang senua ini secaa spesifik tidak bisa tidak haus
disempunakan pada pembahasan lain. Oleh sebab itu, pembicaaan tentang
hati, uh, dan jiwa tebagi antaa buku buku akidah dan buku buku
tasawuf. Hanya
saja tasawuf dapat mengenai sasaannya sedangkan ilmu akidah (teologi)
sangatlah njelimet, sehingga seoang Muslim biasa (awam) sulit memahami
pesoalan pesoalan yang dibahasnya. Akibatnya, banyak pengetian yang
telewatkan dai seoang Muslim.
Kami di sini secaa gamblang dan global akan mendeskipsikan pengetian
jiwa (nafs), uh, hati, dan akal pikian. Kami mulai dengan menukil
pendapat Hujjatul Islam Al Ghazali
Pelu diketahui bahwa empat istilah tesebut digunakan dalan bab ini
jaang sekali ulama ulama tekemuka yang mengetahui secaa mendalam
tentang pengetian nama nama itu, tentang makna maknanya, batasan
batasannya, dan tentang simbol simbol (istilah istilahnya). Kebanyakan
makna dai nama nama ini telah teacuni oleh pelbagai kekeliuan kaena
kebodohan, juga telah tekabukan oleh istilah istilah yang bemacam
macam. Kami akan meneangkan makna nama nama tesebut sesuai dengan
maksud kami
ISTILAH PETAMA: HATI
Nama ini dikenakan pada dua hal: Petama, segumpal daging sanubai yang
teletak di sebelah kii dada. Ia adalah daging yang istimewa, di
dalamnya tedapat ongga yang beisikan daah, itulah sunbe dan pusat
dai uh. Kami tidak bemaksud meneangkan bentuk dan tata kejanya,
sebab hal itu bekaitan dengan tujuan dan pofesi (keja) paa dokte
dan tidak bekaitan dengan tujuan-¬tujuan keagamaan. Hati dalam bentuk
sepeti ini tedapat juga dalam (tubuh) binatang.
Hati yang kami maksudkan dalam buku ini bukanlah hati dalam pengetian
itu. Sebab, ia adalah sepotong daging yang tidak bekada. Ia beasal
dai Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, kaena hal itu dapat
diketahui oleh binatang dengan indea penglihatannya sebagai kelebihan
dai manusia.
Makna kedua, asa uhaniah yang halus yang bekaitan dengan hati
jasmani (bendawi), dan peasaan halus itu adalah hakikat dai manusia.
Ialah yang tahu, mengeti, dan paham. Ialah yang mendapat peintah, yang
dicela, dibei sanksi dan yang mendapat tuntutan. la memiliki hubungan
dengan hati jasmani (bendawi). Akal manusia bingung untuk mengetahui
letak hubungan dan petaliannya, padahal petaliannya (hubungan antaa
hati uhaniah dengan hati jasmani) sama dengan hubungan antaa watak
dengan jasad, antaa sifat dan yang disifati, antaa pemakai alat dengan
alat itu sendii, antaa sesuatu yang menempati tempat dengan tempat itu
sendii.
Kami menjelaskan hal tesebut kaena kanmi besikap sangat hati-hati
pada dua makna: Petama, bahwasanya hal itu behubungan dengan ilmu
mukasyafah, dan tujuan kanmi dengan buku ini bukanlah ilmu mukasyafah
ini tapi ilmu ilmu mu’amalah. Kedua, pewujudannya menbutuhkan
tesingkapnya ahasia uh. Masalah ini meupakan salah satu hal yang
tidak penah dibicaakan atau diteangkan oleh asulullah
maka oang lain tak
sepantasnya membicaakannya. Sebutan kata ‘hati’ dalam buku ini kami
maksudkan pada peasaan halus (lathifah), sasaannya hanya untuk
menyebutkan sifat sifat dan keadaannya, bukan hakikatnya, sebab ilmu
mu’amalah butuh pada pengenalan sifat dan keadaan hati, bukan pada
hakikat hati.
ISTILAH KEDUA: UH
Ini juga dinisbahkan pada satu jenis dengan dua makna: Petama, jisim
atau jasad halus yang besumbe dai ongga hati jasmani. la teseba ke
seluuh bagian tubuh dengan peantaa uat nadi, dan juga teseba ke
alian alian daah dalam tubuh, seta ke alian sumbe hidup, sumbe
asa (instink), sumbe penglihatan, sumbe pendengaan, dan sumbe
penciuman menuju ogannya masing masing. la sama dengan alian cahaya
pelita (lampu) yang meneangi setiap sisi umah, maka tidak ada bagian
umah itu yang tidak mempeoleh peneangan.
Hidup sama dengan cahaya yang liputannya menyeba luas, uh sama dengan
pelita, alian, dan geakan uh dalam batin sama dengan alian atau
geakan (peambatan) cahaya pelita yang tedapat di setiap sisi umah
dengan bahan pembakanya yang tebaka.
Jika menuut paa dokte uh adalah uap yang sangat halus yang bisa
mematangkan panasnya hati, maka penjelasan semacam ini bukanlah tujuan
dan gaapan kami. Sebab masalah ini behubungan dengan pofesi dokte
dalam menyembuhkan tubuh (yang sakit). Sedangkan tujuan dan bidang
gaapan dokte dokte agama adalah menyembuhkan hati (yang sakit)
sehingga secaa teatu dia dekat dan betetangga dengan Tuhan sekalian
alam. Jadi, maksud kami bukan menjelasan makna atau hakikat uh itu
sendii.
Kedua, peasaan halus (lathifah) manusia yang tahu dan mengeti. Inilah
maksud Allah dengan fiman Nya: Katakanlah: uh itu temasuk uusan
Tuhanku (QS Al Isa’: 85).
uh meupakan pekaa dan uusan yang lua biasa, kebanyakan akal dan
pemahaman manusia tidak mampu menangkap hakikatnya.
ISTILAH KETIGA: NAFSU
Nafsu memiliki banyak makna juga, sedangkan yang ada kaitannya dengan
tujuan kami adalah dua makna: Petama, maksudnya adalah cakupan makna
dai kekuatan amaah dan syahwat (nafsu biahi) dalam dii manusia,
sebagaimana akan dijelaskan beikut ini. Pengetian ini yang seing
digunakan oleh ahli tasawuf, kaena maksud an nafs menuut meeka adalah
dasa cakupan sifat-¬sifat tecela dai manusia. Meeka bekata, “Tidak
boleh tidak, haus melakukan peang melawan hawa nafsu dan
membinasakannya,” di mana hal ini diisyaatkan dalam sabda asulullah:
Musuhmu yang paling besa adalah nafsumu yang beada di antaa kedua
lambungmu (H Baihaqi).
Makna kedua, peasaan halus (lathifah) yang telah kami jelaskan sebelum
ini. la adalah hakikat manusia. la adalah jiwa manusia dan hakikatnya.
Akan tetapi, nafs itu bisa bewujud multidimensi tegantung pada
keadaannya. Bila ada di bawah ‘peintah’, sehingga keesahan
meninggalkannya kaena betentangan dengan syahwat, maka itu disebut an
nafsul muthma’innah (jiwa yang tenteam). Mengenal hal ini Allah
befiman: Hai jiwa yang tenteam, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diidhai Nya (QS Al Faj: 27 28).
Nafs dengan pengetian yang petama tidak kembali kepada Allah, kaena
ia jauh dai Allah, dan temasuk golongan setan.
Bila ketenangan nafs itu belum sempuna, namun tetap menyeang dan
membuka font dengan hawa nafsu, maka nafs yang demikian disebut an
nafsul¬lawwamah (jiwa yang menyesali diinya sendii). Kaena nafs itu
menceca pemiliknya ketika dia melalaikan pengabdian (ibadah) kepada
Tuhannya: Dan Aku besumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diinya
sendii) QS Al-¬Qiyamah: 2).
Namun bila nafs menjauhi petentangan., tunduk, dan taat kepada
kehendak hawa nafsu dan godaan godaan setan, nafs sepeti itu dinamai an
nafsul¬ammaah bis su’ (nafsu yang menyeah pada kejahatan). Allah Swt.
befiman menceitakan tentang isti Al Aziz: Dan aku tidak membebaskan
diiku dai kesalahan, kaena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuuh
kepada kejahatan (QS Yusuf: 53).
Jadi an nafsul ammaah bis su’ itu adalah an nafs dalam pengetian
petama. An nafs dalam pengetian ini sangat dan betul betul tecela,
sedangkan an nafs dengan pengetian kedua adalah an nafs yang tepuji,
kaena itu adalah jiwa manusia atau hakikat diinya yang mengetahui akan
Allah dan semua pengetahuan.
ISTILAH KEEMPAT: AKAL
Ini memiliki makna yang bemacam macam juga, dan telah kami teangkan
dalam bab al-ilm. Ada dua makna dai makna makna tesebut yang bekaitan
dengan maksud kami. Petama, kadang kadang dimaksudkan pada ilmu tentang
hakikat segala sesuatu, dan ini adalah sifat dai ilmu yang betempat
dalam hati. Kedua, adakalanya dimaksudkan pada ilmu yang mengetahui
semua ilmu. Ini adalah hati, yaitu peasaan halus (lathifah), yang telah
dijelaskan sebelum ini.
Kita tahu bahwa setiap oang yang beilmu memiliki’sebuah wujud dalam
diinya yang ada dan tegak dengan sendiinya. Ilmu adalah sifat yang
menempati sebuah wujud tesebut, dan meupakan sifat yang tidak
tesifati. Sedangkan akal adalah sifat oang yang beilmu, adakalanya
juga dimaksudkan sebagai tempat (tehimpunnya) pengetahuan.
Sampai di sini jelas sudah pengetian istilah istilah di atas: hati
jasmani (bendawi), uh jasmani, nafsu syahwat, dan ilmu pengetahuan.
Empat makna itu dinisbahkan pada empat istilah tesebut di atas.
Sedangkan makna yang kelima, adalah peasaan halus (Lathifah)
manusiayang tahu dan mengeti. Keempat istilah itu besumbe dai
lathifah. Jadi ada lima makna untuk empat istilah, dan setiap istilah
dinisbatkan pada dua makna.
Sebagian besa ulama tejeat dalam keancuan pebedaan tentang istilah
istilah itu. Maka dapat Anda saksikan, meeka bebicaa tentang fiasat
(intuisi), lalu bekata: “Ini adalah fiasat akal, ini fiasat uh, ini
fiasat hati, dan ini adalah bisikan nafsu.” Padahal meeka tidak
mengetahui agam nakna dai nama atau istilah istilah itu. Itulah
sebabnya, untuk membuka tiai ini, kami kemukakan penjelasan dai
istilah istilah tesebut.
Maksud dai kata ‘hati’ dalan Al Quan dan As Sunnah, adalah hati yang
paham dan mengetahui hakikat segala sesuatu; kadangkala dikiaskan pada
hati yang tedapat dalam dada, kaena hati dalam pengetian petama,
lathifah dan hati jasmani tejalin hubungan khusus. Maka, meskipun ia
behubungan eat dengan seluuh badan dan dimanfaatkan olehnya, namun ia
tetap tegantung dengan peantaa hati jasmani. Jadi yang petama
sekali, lathifah behubungan eat dengan hati jasmani, sebagaimana hati
jasmani itu meupakan tempat, keajaan, dan alamnya.
Dengan demikian, dai uaian Al Ghazali di atas, kita dapat mengetahui
bahwa nafs, akal, hati, dan uh bisa saja bemakna satu. Sebab nama nama
itu beubah ubah disebabkan oleh peubahan uh manusia yang bemacam
macam. Apabila nafsu syahwat dapat mengalahkan uh, maka dinamakanlah ia
sebagai hawa nafsu. jika uh dapat mengalahkan syahwat, itu disebut
akal. Jika penyebabnya adalah asa keimanan, dinamakanlah ia hati; dan
bila ia mengenal Allah dengan sebena-benanya dan melakukan pengabdian
yang tulus ikhlas, maka disebutlah ia uh. Sebagaimana istilah istilah
tesebut digunakan juga untuk bebeapa hal yang belum disebutkan.
Kadang kadang kata nafs dimaksudkan daah dan pada nyawa (hidup). Kata
akal kadang kadang dimaksudkan pada tempat bepiki, yaitu otak, dan
juga dimaksudkan pada kecedasan dan pengetian dai pengatu badan;
semua itu behubungan dengan otak. Begitu juga uh dimaksudkan pada
‘hidup’ itu sendii. Lalu apa itu hidup?
Jawaban manusia bemacam macam; sehingga banyak kekeliuan dan
keancuan yang tejadi dalam masalah ini. Suatu contoh, seoang non
Muslim memahami dan menafsikan suatu. nash tentang masalah ini dengan
maksud dan makna yang bebeda, sehingga hal ini beakibat pada keancuan
dan kekabuan.
Sebagian Muslim kita dapati tepengauh sepenuhnya oleh salah satu
pendapat. Sehingga meeka menyamaatakan makna makna ini dalan setiap
keadaan. Misalnya, pejalanan hidup manusia dimulai sejak teciptanya
spema. Setiap spema memiliki kehidupan khusus. Kalau spema belum
besatu dengan sel telu, maka kehidupannya teikat pada kehidupan jasad
sang ibu sampai mencapai kia kia satu bulan, bau uh masuk. Jadi,
hidup itu hampa (al¬hayatul khalawiyah) sebelum masuknya uh. Lalu
datanglah seoang non-¬Muslim mencampu aduk dan mengabukan antaa uh
dengan kehidupan yang sada, dan beupaya menanankan keancuan. Sepeti
yang dilakukan ketika memahami fiman Allah: Mengapa kamu kafi kepada
Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu (QS Al
Baqaah: 28).
Nash ini menuut meeka mengisyaatkan bahwa spema itu mati. Padahal
maksud dai ayat tesebut adalah keadaan unsu unsu spema sebelum
penciptaannya. Unsu unsunya tak lain adalah sel sel mati yang tedapat
dalam makanan (atau yang menjadi makanan), dai sinilah timbul spema.
Maka dimulailah pejalanan hidup manusia. Jadi, kehidupan hampa (al
hayatul al k¬halawiyah) adalah satu hal, dan datangnya uh setelah itu
adalah hal lain. Antaa keduanya tidak betentangan, justu saling
menyenpunakan.
Sekaang pehatikan keadaan ‘gila’ dan keadaan yang menuut kaun sufi
¬’mabuk indu’ (al jadzbu). ‘Gila’ meupakan sifat (keadaan) yang
kadang¬-kadang bekaitan dengan otak, sedangkan ‘mabuk indu’ bekaitan
dengan hati. Otak meupakan saana yang oleh manusia dinamai akal, dan
hati adalah saana yang oleh manusia disebut akal jadi akal yang
sebenanya, pada satu sisi bekait eat dengan otak, dan pada sisi lain
bekait eat dengan hati.
Maksud hati yang sebenanya di sini adalah hati yang digunakan oleh
manusia untuk mengendalikan pebuatan pebuatannya sesuai dengan
ajaan-¬ajaan Allah.
Kemudian pehatikan agam obat yang dapat menenangkan saaf. Kita
dapatkan bila oang meminumnya, ia akan tenang. Dan pehatikan pula
agam obat yang menjadikan seseoang dalam situasi maah yang sangat.
Begitulah kita dapatkan apa yang dimasukkan ke dalam daah dapat
mempengauhi keadaan manusia secaa keseluuhan, dan oleh sebab
itu¬mungkin daah pada bebeapa keadaan meupakan an nafs.
Kata an nafs dinisbahkan pada jiwa secaa keseluuhan, dan adakalanya
juga dinisbatkan pada tindakan tindakan nafsu syahwat dan keakuan (at
taashshub atau fanatisme) manusia. Banyak oang yang keliu memahami
masalah ini. Meeka. menamai sesuatu yang bukan namanya, sehingga banyak
aspek yang beanekaagam,
Kami di sini tidak bemaksud meneangkan duduk pekaa ini secaa
inci. Yang kami lakukan tak lebih untuk menjelaskan bebeapa hal pokok
yang teacuni oleh keancuan dan kekeliuan. Sampai di sini kami asa
sudah ada semacam kejelasan. Oleh sebab itu pembicaaan tentang topik
ini kami batasi pada bebeapa hal beikut:
Kalau di situ teclapat kehidupan jasad sebelun masuknya uh; kalau
ada jiwa manusia yang meupakan pengauh dai fakto fakto psikologis
dan lingkungan setelah adanya uh dalam jasad; kalau tedapat otak
manusia yang mengatu seluuh stuktu jasad dan uh memiliki kaitan
dengannya; dan kalau manusia memiliki hati bendawi, yang mana uh
tegantung juga kepadanya, sehingga janin dalam peut seoang ibu
sebelum masuknya uh menggantungkan hidupnya pada kehidupan sang ibu.
Akan tetapi setelah uh masuk ke dalam janin itu, maka janin memiliki
‘kehidupan’ tesendii yang bebas sebebas-¬bebasnya.
Oleh sebab itu pada saat uh ini dicabut dai manusia, maka manusia
tesebut akan mati. Dengan demikian, kita mengetahui pebeclaan antaa
kehidupan janin tanpa uh (ketika beada dalan peut sang ibu sebelum
masuknya uh), dan matinya pada saat uh telah dicabut.
Apabila uh telah besemayam dalam jasad ia tepengauh oleh fakto
fakto psikis dan fisik yang beaneka agam. Fakto fakto hawa nafsu
dan amaah juga mempengauhi uh. Mungkin saja ia menang atas hawa nafsu
dengan menempuh suluk (pejalanan menuju Allah) secaa teus meneus,
atau dia kalah pada hawa nafsu. Di sini tejadi pegulatan dan
pepeangan antaa hidayah paa nabi yang beupaya menjadikan uh tetap
sebagaimana aslinya yang sempuna, dan penyesatan paa setan dalam
bentuk manusia dan jin yang beupaya untuk menjadikan uh taat dan
tunduk kepada hawa nafsu.
Paa ahli fiqih menyebut daah dengan nafsun. Misalnya, meeka bekata,
“Apabila binatang yang tidak memiliki nafsun (daah) yang mengali jatuh
ke dalam ai . . .” Maksud meeka dengan kata nafsun adalah daah.
Penulis kitab Al Muntaqhi membei judul pada salah satu babnya: “Bab
tentang Apa yang Tidak Memiliki Nafsun (Daah) yang Mengali: Tidak
Najis kaena Mati.”
Jadi, daah beikut senua unsunya memiliki pengauh dan ikatan atau
ketekaitan yang sangat besa dengan uh. Dalam sebuah hadis dha’if
disebutkan bahwa asulullah besabda: Amaah meupakan baa api dalam
hati manusia.
Seluuh unsu yang ada dalam daah bekaitan eat dengan masalah nafsu
syahwat dan amaah. Dengan begitu, maka stuktu tubuh bepengauh pada
uh. Pengauh itu bisa kuat, bisa juga lemah; sedangkan manusia bisa
saja menyeah kepada pengauh itu: meluuskannya atau beusaha untuk
menyeimbangkannya. Yang jelas, di situ ada kaitan eat antaa tubuh,
stuktu, dan kecendeungannya. Paa asul menunjukkan kepada kita
batasan-¬batasan atuan keja (inteaksi) antaa tubuh atau jasad dengan
uh, atau antaa nafsu syahwat dan uh.
Keancuan tejadi juga pada sekita masalah taklid, masalah ijtihad,
masalah yang haus diketahui secaa pasti oleh setiap oang, dan masalah
yang boleh saja tidak diketahuinya. Juga sekita masalah yang boleh
dilakukan dengan jalan taklid dan yang tidak boleh dengan jalan
tesebut, seta apa yang haus dia tolak dengan spontan kaena
betentangan dengan pisip pinsip ajaan agama.
Uaian dan penbahasan yang inci seta mendalam tentang pesoalan
pesoalan tesebut tidak memungkinkan untuk dilakukan di sini sekaang.
Untuk itu beikut ini kami kemukakan bebeapa hal penting sekita
masalah tesebut:
1. Paa ulama membedakan antaa taklid akidah (ushulusy syai’ah)
taklid fiqih (fuu’usy syai’ah), taklid dalam hal yang sudah jelas dan
meupakan aksioma, seta taklid dalam mutasyabihat (hal yang sama).
Jaang sekali oang yang mendudukkan pesoalan pesoalan ini pada
tempat yang sebenaya, begitu pula oang yang tahu akan batasan-batasan
masalahnya. Ketidaktahuan akan masalah masalah ini justu tejadi juga
pada meeka yang tejun langsung dalam bidang ilmu pengetahuan dan dalam
bidang pendidikan pengajaan, sehingga malapetaka meluas dan meajalela.
Di samping itu, pesoalan pesoalan ini belum jelas duduk masalahnya
bagi banyak oang.
Pada dasanya, taklid dalam akidah tidak bena dan tidak
dipe¬bolehkan, begitu pula taklid dalan setiap hal yang pinsip yang
haus diketahui mengenai agama. Hanya saja paa ulama bebeda pendapat
tentang batas batas ketidak-bolehan dalam masalah ini: apakah
pelanggaannya sampai pada tingkat kekufuan atau kefasikan?
Menuut paa ulama, taklid yang dilakukan oleh seoang Muslim awam
dalam masalah masalah fuu’iyah (misalnya fiqih) yang tidak mungkin
baginya untuk mengetahui sendii secaa langsung tentang hukum hukum
Allah dalam masalah tesebut adalah boleh. Dalam hal ini meeka meniu
oang yang tahu pasti tentang masalah fuu’iyah yang tidak diketahuinya.
Meeka yang ditiu itu adalah pemimpin-pemimpin yang mujtahid (pelaku
ijtihad). Namun demikian, batasan-batasan pengetian masalah ini sangat
luas. Maka, masalah akidah apa sajakah yang haus diketahui oleh setiap
Muslim? Dan apa sajakah masalah masalah fuu’iyah yang boleh tidak
diketahui oleh seoang Muslim sehingga ia bisa betaklid dalam hal itu?
Banyak sekali kedangkalan pemahaman tejadi sekita masalah ini.
Tahu akan Allah, caa untuk mengetahui dan mengenal asulullah saw.,
tahu akan dalil dalil (naqliaqli) yang menunjukkan adanya Allah beikut
sifat sifat Nya, dan tahu akan dalil dalil yang membuktikan bahwa
Muhammad adalah asul utusan Allah, semua itu temasuk dasa dasa
ajaan (syaiat) Islam. Dasa dasa syaiat itu adalah: Al-Quan, As
Sunnah, ijma’ dan qiyas yang disepakati dan bedasa atas Al Quan, As
Sunnah, dan ijma’ tesebut; ini juga temasuk dasa dasa ajaan
(ushul). Masalah masalah yang jelas dan mutawati baik lafaz maupun
maknanya yang tedapat dalam Al-¬Quan, Sunnah, dan ijma’, temasuk juga
dalam lingkup dasa dasa ajaan.
Seluuh kandungan Al Quan mutawati secaa lafaz, dan sebagian besa
nash nash As Sunnah mutawati secaa lafaz dan makna. Semua hal yang
lahi dai poses tesebut, asal jelas maknanya dan bedalil qath’i,
maka ini temasuk dalam pengetian ‘masalah masalah keagamaan yang haus
diketahui. Seoang Muslim tidak dibenakan untuk tidak mengetahuinya,
dan taklid dalam masalah ini meupakan hal yang sehausnya tidak tejadi.
2. Hanya saja di situ ada pebedaan antaa taklid dalam bebeapa agam
masalah akidah dan taklid dalam agam masalah akidah lainnya. Begitupun
taklid dalam sebagian dasa dasa ajaan (ushul) dan taklid dalam
bebeapa agam masalah fuu’iyah. Di situ juga ada masalah masalah yang
dalam pelaksanannya haus betaklid pada Allah dan asulNya, maka
hukumnya adalah wajib taklid. Juga tedapat masalah masalah yang disebut
al-¬qana’ah al aqliyah (asa puas asional), yang hukumnya juga wajib.
Bagi oang awam betaklid kepada paa peimpin dalam masalah masalah
cabang (fuu’) adalah wajib, dengan caa apabila memungkinkan dan mampu
mengetahui dalil dalilnya. Ini juga temasuk masalah yang kabu dan
sama dalam pesoalan yang kita bicaakan.
3. Dasa dasa ajaan (ushul) dan aksioma aksioma keagamaan, misalnya,
adalah tahu akan Allah, tahu akan pejalanan uhani menuju Allah
(suluk), tahu akan pentingnya mengikuti tuntutan Al Quan dan As Sunnah,
dan mengetahui kewajiban, peintah dan laangan. Juga temasuk dalam hal
ini adalah mengetahui sunnah sunnah Nabi yang mutawati. Masih banyak
hal yang temasuk dalam lingkup ini, misalnya, tahu akan kewajiban
menyucikan jiwa dan masalah keimanan secaa akal seta keimanan secaa
uhani; pemahaman dan wawasan keislaman yang univesal integal;
kewajiban bejihad untuk menegakkan agama Allah; kewajiban mengikuti
hukun yang dituunkan Allah; kewajiban untuk mengetahui bahwa umat
Islam adalah umat yang satu dan integal; kewajiban untuk menegakkan
kesatuan sistem politik, dan lain lain.
4. Masalah yang boleh dilakukan dengan betaklid hanya kepada pembuat
syaiat (Allah dan asul Nya), dan masalah masalah yang haus dicapai
oleh manusia dengan kepuasan asional. Dalam hal ini mengetahui secaa
kuantitatif tidaklah menjadi pesyaatan, begitu pula penjelasan secaa
inci dan gamblang. Selayaknya seoang Muslim mengetahui bebeapa dalil
atau bukti secaa global tentang hal tesebut.
Setelah Anda mengetahui batasan batasan taklid, Anda pasti mengetahui
letak kekeuhan dan keancuan dalam pesoalan ini. Anda mengetahui
seseoang yang melakukan taklid dalan hal yang sehausnya tidak
dilakukan dengan caa itu. Anda juga mengetahui seseoang yang kelua
dan menjauhi taklid, padahal dalan hal tesebut ia boleh betaklid. Di
samping itu, Anda mengetahui oang yang mengulangi kesalahan kesalahan
oang lain. Semua hal tesebut hauslah dibesihkan dai dii setiap
Muslim.
Begitulah kita mengetahui keancuan keancuan penahaman tentang Islam,
baik itu keancuan sekita pengetian tentang iman, keancuan sekita
masalah maqamat (tingkatan tingkatan) pejalanan menuju Allah, keancuan
sekita masalah taklif, walaupun keancuan pemahaman tentang pengetian
jiwa, akal, hati, dan uh. Semua dampak negatif dai masalah tesebut
bebalik pada dii Muslim sendii. Dan apabila kita analisis fakto
penyebab dai keancuan-¬keancuan yang telah kita sebutkan tadi,
tenyata teletak dan kembali pada sinanya pengetahuan yang mendalam
dan bena, khususnya di kalangan paa ulama, yang mana meeka meupakan
sumbe dai penahaman, wawasan, dan meupakan sui teladan dan ujukan
bagi umat.
Pandangan univesal tentang Islam, kadangkala kita dapatkan mulai
sina; penahaman yang bena dan mendalam tentang Al Quan dan Sunnah
kita dapatkan sangat tebatas; wawasan tentang metode penaikan
(istinbat) hukum hukum syaiat dai Al Quan dan As Sunnah kita dapatkan
melemah; disiplin disiplin ilmu yang besumbe dai AlQuan dan As
Sunnah sepeti fiqih, tauhid, tasawuf dan lain lain kita dapatkan
pembahasan¬-pembahasannya yang sangat dangkal, lemah, tidak menyeluuh
atau bahkan mengandung kesalahan kesalahan. Apa yang sehausnya, dai
sisi lain, penting dan mendesak untuk menyempunakan peadaban Islam
yang lengkap, kita. dapatkan mulai punah dan menghilang; sementaa
teladan yang baik dan sesuai zaman untuk memenuhi semua ketedesakan
mulai tebatas.
Kaena bebeapa alasan sepeti di atas, maka saya menulis buku
Jundullah Tsaqafatan wa Akhlaqan, Julat fil Fiqhainil Kabi wal Akba wa
Ushulihima, dan seial buku ini, kaena tasawuf beikut
pesoalan-¬pesoalannya meupakan sebab tepenting yang melahikan
entetan entetan keancuan sampai ke bebagai daeah.
Sebelun mulai pembicaaan tentang masalah ini, saya ingin meminta maaf
kepada paa ulama dan paa syaikh yang, tekun, sebab baangkali saya
melakukan kitikan kitikan dangkal. Semua itu tidak saya maksudkan
untuk menyinggung seoang pun dai meeka. Akan tetapi saya ingin
mengobakan semangat dan cita cita kami, tujuan ikhwan ikhwan kami, paa
pencinta ilmu, aga kamii semua mencapai kesempunaan, yang meupakan
suatu kehausan.
Hal ini sengaja saya jelaskan aga pembahasan ini tidak telewatkan
oleh hati siapapun dibandingkan dengan sejumlah kebutuhan lain
seseoang. Buku ini tak lebih dai usaha meluuskan bebeapa hal dai
satu segi, dan ini pun sebagai pemakluman bahwa buku ini meupakan satu
bagian dai banyak aspek.
Diiwayatkan
oleh Syaikh Syamsuddin at-Tabizi bahwa suatu hai ketika Syaikh Abu
Yazid al-Busthami sedang dalam pejalanan menuju Makkah untuk menunaikan
ibadah haji, beliau mengunjungi seoang sufi di Bashah. Secaa langsung
dan tanpa basa-basi, sufi itu menyambut kedatangan beliau dengan sebuah
petanyaan: “Apa yang anda inginkan hai Abu Yazid?”.
Syaikh Abu Yazid pun segea menjelaskan: “Aku hanya mampi sejenak,
kaena aku ingin menunaikan ibadah haji ke Makkah”.
“Cukupkah bekalmu untuk pejalanan ini?” tanya sang sufi.
“Cukup” jawab Syaikh Abu Yazid.
“Ada beapa?” sang sufi betanya lagi.
“200 diham” jawab Syaikh Abu Yazid.
Sang sufi itu kemudian dengan seius menyaankan kepada Syaikh Abu
Yazid: “Beikan saja uang itu kepadaku, dan betawaflah di sekeliling
hatiku sebanyak tujuh kali”.
Tenyata Syaikh Abu Yazid masih saja tenang, bahkan patuh dan
menyeahkan 200 diham itu kepada sang sufi tanpa ada asa agu
sedikitpun. Selanjutnya sang sufi itu mengungkapkan: “Wahai Abu Yazid,
hatiku adalah umah Allah, dan ka’bah juga umah Allah. Hanya saja
pebedaan antaa ka’bah dan hatiku adalah, bahwasanya Allah tidak penah
memasuki ka’bah semenjak didiikannya, sedangkan Ia tidak penah kelua
dai hatiku sejak dibangun oleh-Nya”.
Syaikh Abu Yazid hanya menundukkan kepala, dan sang sufi itupun
mengembalikan uang itu kepada beliau dan bekata: “Sudahlah, lanjutkan
saja pejalanan muliamu menuju ka’bah” peintahnya.
Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seoang wali supe agung yang sangat
tidak asing lagi di hati paa penimba ilmu tasawuf, khususnya tasawuf
falsafi. Beliau wafat sekita tahun 261 H. Sedangkan Syaikh Syamsuddin
at-Tabizi (yang meiwayatkan kisah di atas) adalah juga seoang wali
besa (wafat tahun 645 H.) yang telah banyak menganugeahkan inspiasi
dan motivasi spiitual kepada seoang wali hebat sekalibe Syaikh
Jalaluddin a-umi, penggagas Taekat Maulawiyah (wafat tahun 672 H.).
Namun siapakah sang sufi itu?. Nampaknya, kewalian yang ia miliki jauh
lebih tinggi dai ketiga imam tenama di atas. Siapakah geangan ia…

Setiap oang yang ingin mempelajai suatu ilmu maka hendaklah telebih
dahulu mengetahui dasa-dasa dai ilmu tesebut, yakni ada 10 (sepuluh)
dasa, demikian pula dalam ilmu tasawuf ini :
1. Ta’if ilmu Tasawuf
Tasawuf pada lughat diambil dai pada kata “Showafa” Atinya besih
dan jenih atau bening.
Tasawuf dalam istilah ialah : ilmu untuk membesihkan dii daipada
peangai-peangai atau sifat-sifat yang dibangsakan kepada manusia aga
meningkatkan kepada sifat-sifat yang tepuji yang dibangsakan kepada
malaikat seta membulatkan ibadah semata-mata kepada Allah Ta’ala dan
untuk mensucikan zat Allah daipada segala sifat kekuangan yang
mencedeakan sifat ketuhanan.
2. Maudhutajuk bahasan ilmu Tasawuf
Tajuk bahasannya ialah zat Allah Ta’ala dan sekalian zat makhluk dai
sekia-kia di nafi dan difanakan akan meeka dan segala maqam dan
segala keadaan oang-oang ‘aifin dan jalan amalan meeka dsb.
4. Faedahnya
Faedahnya ialah membesihkan hati aga sampai kepada ma’ifat akan
tehadap Allah Ta’ala sebagai ma’ifat yang sempuna untuk keselamatan
di akhiat dan mendapat keidhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan
kebahagiaan abadi.
5. Hubungan dengan ilmu-ilmu yang lain.
Ilmu tasawuf ialah sebagian daipada ilmu-ilmu agama yang tiga
bagian yaitu : ilmu tauhid, ilmu tasawuf, dan ilmu fiqih. Bahkan ilmu
tasawuf ini menguatkan ilmu tauhid dan mengheningkan ilmu fiqih dimana
hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu agama sepeti hubungan uh dengan jasad.
6. Yang menghantakan ilmu tasawuf.
Yang menghantakan ilmu tasawuf ini ialah Allah SWT yang
diwahyukan kepada asulNya Muhammad SAW, dan kata sebagian oang bahwa
oang yang mula-mula menyusunnya sebagai ilmu tesendii ialah Syaikh
Junaidi Al-Baghdadi.
7. Nama ilmu ini
Nama ilmu ini ialah : Ilmu Tasawuf, ilmu qalbu, ilmu bathin, ilmu
laduni, ilmu mukasyafah, ilmu hakikat,ilmu zuqi, ilmu wujdani, dll.
8. Tempat pengambilan ilmu ini.
Ilmu ini diambil daipada Al-Qu’an dan Al-Hadist dan kepada
oang-oang ahli Shufi yang telah meningkat kepada deajat atau matabat
yang boleh diteima oang pekataannya. dan kepada oang-oang ahli
Shufi yang telah meningkat kepada deajat atau matabat yang boleh
diteima oang pekataannya.
9. Hukum Syai mempelajainya
mempelajai ilmu tasawuf ini Fadu ‘ain hukumnya atas tiap-tiap
oang yang kuasa mempelajainya selain daipada qada fadhu pada ilmu
tauhid. Telah bekata sebagian daipada oang ‘Aifin : “Baangsiapa
tidak bepeluang mempelajai ilmu ini dikhawatikan atasnya su’ul Khatimah.
10. Masalah-masalah ilmu tasawuf
Masalah ilmu tasawuf ialah pekaa yang begantungbesangkut-paut
dengan musyahadah akan tehadap Allah Ta’ala dan pekaa yang begantung
dengan segala maqam dan segala keadaan kaum ‘aifin dan Sholihin dai
ahli tasawuf. Dan pekaa yang membicaakan hal-hal yang menghalangi
daipada bebuat ta’at kepada Allah dan pekaa yang mencedeakan pahala
amalan seseoang kepada Allah.
Dengan mengamalkan dengan bena Thaiqat yang ada pada ilmu
tasawuf tadi akan menyampaikan seseoang muslim kepada tauhid yang
muni. Melalui thaiqat akan mengantakan kepada maqam-maqam tetentu
dengan betauhid.
Bebeapa ayat tentang tauhid :
a. Q.S. As-shaft :16 (atinya)
“ Dan Allah yang menciptakan kamu dan semua pebuatan kamu. “
b. Q.S. Al-Anfal : 17 (atinya)
“ Dan bukanlah engkau yang melempa diwaktu engkau melempa,
tatapi (pada hakikatnya) Allah yang melempanya. “
c. Q.S.Al-Baqaah : 115 (atinya)
“ Kepunyaan Allah akan timu dan baat, baang kemana kamu
memandang maka kamu dapatkan zatdii Allah (yang Esa). “
d. Q.S. Al-Hadid : 4 (atinya)
“ Dan Dia (Allah) beseta kaum dimana saja kamu beada. “
e. Q.S. Qaf : 16 (atinya)
“ Dan Kami lebih hampi kepadanya (Seseoang daipada uat
lehenya). “
f. Dan lain-lain ayat Al-Qu’an maupun Al-Hadist
Tauhid dalam Tasawuf tebagi :
Tauhidul Af’al disebut juga Musyahadah Af’al.
Tauhidul Shifat, disebut juga Musyahadah Syifat.
Tauhidul Asma, disebut juga Musyahadah Asma (nama).
Tauhiduz Zat, disebut juga Musyahadah Zat.
3. Mencium Makam Oang-oang Sholeh, Mengambil Berkah Dari Oang-oang
Sholeh
Tidak pelu diagukan lagi, bahwa bertabaruk dengan makam
oang-oang sholeh adalah Jaiz (dipekenankan oleh Syara’). Imam
Al-Hafiz Al- ‘Iaqiy meiwayatkan dalam kitabnya yang bejudul
“Fathul-Muta’al”, bahwa Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) mempebolehkan
oang mencium makam Rasulullah SAW, makam para Waliyullah dan
oang-oang sholeh lainnya sebagai Tabaruk.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melihat oang bebuat sepeti
itu ia kehean-heanan. Selanjutnya Imam Al-Iaqiy bekata : “apa anehnya ?, bukankah kami telah meiwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
betabauk dengan mencium ai bekas cucian baju Imam Syafi’i ?, bahkan
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah sendii juga meiwayatkan bahwa Imam Ahmad
bin Hanbal bertabaruk di petilasan Imam Syafi’i. Bebeapa dalil Tabaruk;
1. Imam Al-Baihaqi, Abu Ya’lan, dll. Meiwayatkan bahwa Khalid bin
Al-walid setiap maju ke medan peang selalu membawa potongan ambut
asulullah SAW sebagai tabauk. Bekat ambut asulullah itu dalam
setiap petempuan Khalid selalu behasil meaih kemenangan.
2. Imam Muslim, Abu Daud, An-Nasai dan Ibnu Majah meiwayatkan, bahwa
Asma binti Abu Baka As-shiddiq a pada suatu hai mengeluakan sehelai
jubah kemudian bekata kepada oang-oang yang hadi. “Dahulu asulullah
SAW memakai jubah ini. Jubah ini kami cuci dan ainya kami gunakan untuk
menyembuhkan oang-oang sakit.
3. Ibnu Qusaith dan Al-‘Utbiy mengatakan bahwa paa sahabat Nabi saat
memasuki Mesjid Nabawi mengusapkan tangan pada mimba asulullah SAW
yang bedekatan dengan makam beliau dengan maksud betabauk dan
betawasul (“Thabaqat” Ibnu Sa’ad).
4. Ibnu Sa’ad juga mengatakan, ia melihat Abdullah bin Uma ibnul
Khattab a (Ibnu uma) betabauk dengan mengusapkan tangannya pada
tempat duduk asulullah SAW yang beada pada mimba beliau, kemudian
mengusapkan tangan itu pada wajahnya.
5. Diiwayatkan juga bahwa Bilal bin abbah ketika kembali ke Madinah
dai Syam, didepan paa sahabat Nabi ia menangis sambil mengusap-usap
pipinya pada lantai bekas kama asullah SAW.
6. Demikian pula ketika Fatimah binti asullah SAW betabauk didepan
makam Ayahandanya.
7. Adanya yang betabauk dengan keingat asullah SAW. (H Bukhai
dan Muslim).
8. Adanya yang betabauk dengan mengusap kulit asulullah SAW (H
Al-Hakim).
9. Tabauk dengan sesuatu yang penah disentuh mulut asulullah SAW
(H Imam Ahmad bin Hanbal)
10. Tabauk dengan mencium tangan seseoang yang penah mengusap bagian
badan asulullah SAW (H Bukhai).
Tabauk yang dilakukan oleh kaum muslimin itu mungkin
sekali kelanjutan dai tabauk yang meeka lakukan semasa hayatnya
asulullah SAW, yaitu ketika meeka meeka melakukan tabauk dengan
potongan ambut beliau, dengan bekas ai wudhu beliau, sisa ai minuman
beliau, pakaian beliau, dan tenyata tabauk demikian itu dipebolehkan
oleh beliau.
Apa Itu Nu Muhammad? (1)
Dalam ilmu tasawuf, Nu Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nu
Muhammad disebut juga hakikat Muhammad.
Seing dihubungkan pula dengan bebeapa istilah sepeti al-qalam al-a’la
(pena tetinggi), al-aql al-awwal (akal utama), am Allah (uusan
Allah), al-uh, al-malak, al-uh al-Ilahi, dan al-uh al-Quddus.
Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secaa umum
istilah-istilah itu beati makhluk Allah yang paling tinggi, mulia,
paling petama dan utama. Seluuh makhluk beasal dan melalui diinya.
Itulah sebabnya Nu Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau
al-syajaah al-baidha’ kaena seluuh makhluk memanca dainya.
Ia bagaikan pohon yang daipadanya muncul bebagai planet dengan segala
kompleksitasnya masing-masing. Nu Muhammad tidak pesis identik dengan
pibadi Nabi Muhammad SAW. Nu Muhammad sesungguhnya bukanlah pesona
manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan asul teakhi.
Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai peson, kaena
epesentasi Nu Muhammad dan atau insan kamil adalah pibadi Muhammad
yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah epesentasi insan kamil.
Oleh kaena itu, dalam atikel tedahulu, manusia dikenal sebagai
makhluk mikokosmos.
Sebab, manusia meupakan miniatu alam makokosmos. Posisi Muhammad
sebagai nabi dan asul dapat dikatakan sebagai miniatu makhluk
mikokosmos kaena pada dii beliau meupakan tajalli Tuhan paling
sempuna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan bebagai
macam keutamaan dibanding nabi-nabi sebelumnya.
Bahkan hadits-hadits Isa’ Mikaj menyebutkan, asulullah penah
mengimami nabi yang penah hidup sebelumnya. Melalui Nu Muhammad, Tuhan
menciptakan segala sesuatu. Dai segi ini, Al-Jilli menganggapnya qadim
dan Ibnu ‘Aabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu
Tuhan dan bahau ketika ia bewujud makhluk.
Namun pelu diingat bahwa konsep keqadiman, menuut Ibnu Aabi, ada dua
macam, yaitu qadim dai segi dzat dan qadim dai segi sesuatu itu masuk
ke wilayah ilmu Tuhan. Nu Muhammad, menuut Ibnu Aabi, masuk kategoi
qadim jenis kedua, yaitu bagian dai ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan
dalam qadim al-dzati.
Dengan demikian, Nu Muhammad dapat dianggap qadim dalam pespektif
qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai bahau dalam
pespektif qadim al-dzati. Dalam satu iwayat juga penah diungkapkan
bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi petama dan teakhi.
Ia disebut sebagai nabi petama dalam ati bapaknya paa uh (abu
al-wah al-wahidah), nabi teakhi kaena memang ia sebagai khatam
an-nubuwwah wa al-musalin.
Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu
al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi petama dan teakhi bagi
Allah SWT, tidak ada masalah.
Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paadoks, sepeti
al-awwal wa al-akhi, al-dhahi wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga
tidak ada masalah bagi-Nya, kaena itu semua hanya di level puncak
(al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual
(wujud al-khaij).
Dasa kebeadaan Nu Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan
hadits. Di antaanya, “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nu)
dai Allah dan kitab yang meneangkan.” (QS. Al-Maidah 15).
Ayat lainnya, “Sesungguhnya telah ada pada (dii) asulullah itu sui
teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi oang yang menghaap (ahmat)
Allah dan (kedatangan) hai kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, “Saya adalah penghulu ketuunan
Adam pada hai kiamat.”
Hadits iwayat Bukhai menjadi dasa lainnya, yaitu “Aku telah menjadi
nabi, sementaa Adam masih beada di antaa ai dan tanah belumpu.”
Ada lagi suatu iwayat panjang yang banyak ditemukan dalam liteatu
tasawuf dan liteatu-liteatu Syiah adalah petanyaan Sayyidina Ali A
kepada asulullah.
“Wahai asulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum
semua makhluk diciptakan?”
asul menjawab, “Sebelum Allah menciptakan yang lain, telebih dahulu
Ia menciptakan nu nabimu (Nu Muhammad). Waktu itu belum ada lauh
al-mahfuz, pena (qalam), neaka, malaikat, langit, bumi, matahai,
bulan, bintang, jin, dan manusia.
Kemudian dengan iadat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi
Nu itu menjadi empat bagian. Dai bagian petama, Ia menciptakan qalam,
lauh al-mahfuz, dan Aasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan
qalam, pada qalam itu tedapat seatus simpul.
Jaak anta simpul sejauh dua tahun pejalanan. Lalu, Allah
memeintahkan qalam menulis dan qalam betanya, ‘Ya Allah, apa yang
haus saya tulis?’ Allah menjawab, ‘Tulis La Ilaha illa Allah,
Muhammadan asul Allah.’ Qalam menjawab, ‘Alangkah agung dan indahnya
nama itu, ia disebut besama asma-Mu Yang Maha Suci.’
Allah kemudian bekata aga qalam menjaga peilakunya. Menuut Allah,
nama tesebut adalah nama kekasih-Nya. Dai nu-Nya, Allah menciptakan
Aasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan kaena dia, uja Allah,
diinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu,
qalam tebelah dua kaena takutnya kepada Allah.”
“Oleh kaena itu, jangan ada seoang pun gagal dalam memuliakan dan
menghomati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya,
Allah memeintahkan qalam untuk menulis.”
“Qalam betanya, Apa yang haus saya tulis, ya Allah? Dijawab oleh
Allah, Tulislah semua yang akan tejadi sampai hai pengadilan. Qalam
pun kembali betanya tentang apa yang haus ia mulia tuliskan. Allah
menegaskan, aga qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah A-ahman
A-ahim.”
“Dengan asa homat dan takut yang sempuna, kemudian qalam besiap
menulis kata-kata itu pada Lauh Al-Mahfudz dan menyelesaikan tulisan itu
dalam kuun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah
menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya.”
Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan
empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh baakah ini dibuat sebagai hadiah
bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis
tesebut di atas juga masih ada nasihat atau pekataan yang menaik
untuk dikaji besama.
Antaa lain, ungkapan yang disampaikan Al-Khallaj sebagai beikut, “Maha
Suci (dzat) yang nasut-Nya telah melahikan ahasia cahaya lahut-Nya
yang cemelang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secaa nyata dan
dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum.”
Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki bebagai
keutamaan, sepeti satu-satunya yang bisa mengakses langsung Sidah
Al-Muntaha, maqam paling puncak, dibei Lailah Al-Qad, dibei hak
membei syafaat di hai kiamat, umatnya paling petama dihisab, paling
petama masuk suga, dan paling behasil misinya.
Dalam kitab Fushush Al-Hikam kaya Ibnu Aabi, dibahas lebih mendalam
hakikat Nu Muhammad (Haqiqah Al-Muhammadiyyah). Yang menaik di dalam
pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai unsu-unsu
kemuhammadan (Muhammadiyyah) sepeti halnya di dalam dii manusia
tedapat unsu-unsu keadaman (Adamiyyah).
Muhammadiyyah, Adamiyyah, dan sejumlah manusia suci lainnya, tenyata
bemakna fisik dan simbolis, atau makna esoteis di samping eksoteis.
Uaian tentang Nabi Muhammad, kemuhammadan, dan Nu Muhammad seta
elasinya dengan kita sebagai sebagai makhluk mikokosmos sangat menaik
disimak.

No comments:

Post a Comment