Wednesday 30 July 2014

mut'ah

MENGENAL SYI'AH

Ini Dia ‘Fiqih’ Nikah Mut’ah Menurut Syiah (2 – Habis)

Ahad 26 Jamadilawal 1434 / 7 April 2013 20:49

mutah Ini Dia Fiqih Nikah Mutah Menurut Syiah (2   Habis)

Jangka Waktu Minimal Mut’ah

Dalam nikah mut’ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut’ah. Jadi boleh saja nikah mut’ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
Dari Khalaf bin Hammad, dia berkata, “Aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut’ah. Apakah diperbolehkan mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri?” Jawabnya, “Ya (boleh ed.). (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.460).
Orang yang melakukan nikah mut’ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, dan kembali ke hukum semula yang haram dipandang, disentuh, dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut’ah atas sekali hubungan suami istri? Padahal setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah dan mengenakan pakaian sebelum keduanya pergi.
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut’ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya, “Tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.460

Nikah Mut’ah Berkali-kali Tanpa Batas

Diperbolehkan nikah mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja’far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut’ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, “Seorang laki-laki nikah mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut’ahnya, lalu nikah mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut’ahnya tiga kali dan nikah mut’ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama?” Jawab Abu Ja’far, “Ya dibolehkan menikah mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.460)

Wanita Mut’ah Diberi Mahar Sesuai Jumlah Hari yang Disepakati

Wanita yang dinikah mut’ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah, “Aku nikah mut’ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar.” Jawabnya, “Ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.452).
Bayaran harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada “kerugian” yang menimpa pihak penyewa.
Jika ternyata wanita yang dimut’ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut’ah tidak batal.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut’ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
Dari Aban bin Taghlab berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.” Jawabnya, “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.462).
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan: Masalah 260: “Dianjurkan nikah mut’ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut’ah bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah.” (Minhajushalihin, Jilid:3, Hal.82).
So, tidak usah membuang waktu dengan bertanya, langsung tawar dan bayar

Nikah Mut’ah dengan Gadis

Dari Ziyad bin Abil Halal berkata, “Aku mendengar Abu Abdullah berkata, ‘Tidak mengapa bermut’ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya’.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.462).

Nikah Mut’ah dengan Pelacur

Diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut’ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan: Masalah 261: “Diperbolehkan menikah mut’ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut’ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.” (Minhajushalihin, Jilid:3, Hal.8)

Pahala yang Dijanjikan Bagi Nikah Mut’ah

Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, “Apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala?” Jawabnya, “Jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki yang mut’ah berbicara pada perempuan mut’ah pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya. Setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu, pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya, pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya. Jika dia mandi, maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi.” Aku bertanya, “Sebanyak jumlah rambut?” Jawabnya, “Ya, sebanyak jumlah rambut.” (Man La yahdhuruhul faqih, Jilid:3, Hal. 464)
Abu Ja’far berkata “Ketika Nabi sedang isra’ ke langit Nabi mengatakan, ‘Jibril menyusulku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, Allah berfirman, ‘Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut’ah’.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, Jilid:3, Hal.464)

Hubungan Warisan

Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan: Masalah 255: “Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.” (Minhajushalihin, Jilid:3, Hal.80).

Nafkah

Wanita yang dinikah mut’ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256: “Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut’ah atau akad lain yang mengikat.” (Minhajus shalihin, Jilid:3, Hal.80). [sumber; hakekat]
HABIS

No comments:

Post a Comment