*🔱 TASAWUF RAMADAN AL-MUBARAK 🔱*
*MEMINTA-MINTA PERBUATAN TERCELA*
*Tasawuf Ramadhan Hari Yang Ke Enam*
*Bismillah : Sebagai orang Islam, mereka tidak diperbolehkan meminta-minta kecuali Tiga Golongan. Umat Islam harus memelihara diri dari sebarang sifat sifat tercela yang dibenci Allah dan para Rasul-Rasul-Nya. Namun ketika kita hidup di dalam dunia yang serba fitnah ini, orang orang yang beriman juga tidak terlepas dari sifat-sifat tercela ini.*
*Kitab Fiqhul Akhlaq*
(Ustadz Abu Yahya Badrusalam)
Fiqhul Akhlaaq, Akhlak dan adab, Berbuat baik, Fiqhul Akhlaq, Fiqih akhlaq / Fikih akhlak, Fiqih mu'amalah, Larangan, Larangan meminta-minta.
Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Berikut ini merupakan kelanjutan dari pembahasan Kitab Fiqhul Akhlaq (فقه الأخلاق) karya Syaikh Mushtafa Al-‘Adawirahimahullah.
Pada pertemuan yang lalu, Ustadz Badrusalam telah menjelaskan kajian beliau tentang Seorang Muslim Tidak Boleh Mempunyai Sifat Suka Meminta-minta.
Dan pada pertemuan kali ini, beliau akan menyampaikan tentang “Tidak Diperbolehkan Meminta-minta kecuali Tiga Golongan“.
Ringkasan Ceramah Agama Islam – Kajian Kitab Fiqhul Akhlaq : Tidak Diperbolehkan Meminta-minta kecuali Tiga Golongan Islam melarang keras umatnya untuk meminta-minta kepada orang lain.
Karena hal itu merupakan akhlak tercela, sedangkan jiwa seorang muslim itu mulia dan tidak suka mengharapkan uluran tangan dari orang lain.
Namun Islam punya kelonggaran, ada tiga golongan yang diperbolehkan untuk meminta-minta.
*Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :*
إن المسألة لا تحل لأحد إلا لثلاثة : رجل تحمل حمالة فحلت له المسألة حتى يصيبها ثم يمسك، ورجل أصابته جائحة اجتاحت ماله فحلت له المسألة حتى يصيب قواماً من عيش، ورجل أصابته فاقة فقال ثلاثة من ذوي الحجى من قومه لقدأصابت فلاناً فاقة، فحلت له المسألة حتى يصيب قواماً من عيش“
*"Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk salah satu dari tiga orang : Pertama, orang yang menanggung kerugian dalam mendamaikan (dua kabilah yang berperang), maka boleh bagianya meminta-minta hingga ia mendapatkan kecukupan untuk membayar semuanya (yang menjadi haknya). Kedua, seseorang yang bangkrut (jatuh muflis), maka ia boleh meminta-minta hingga ia mendapatkan sesuatu yang mencukupi hidupnya. Ketiga, orang yang sangat fakir, dan disaksikan oleh tiga orang yang adil di kaumnya tersebut bahwa ia benar-benar orang fakir, maka ia boleh meminta-minta hingga mendapatkan kecukupan (bagi dirinya).”*
Itulah tiga golongan yang diperbolehkan untuk meminta-minta. Adapun selain dari tiga golongan tersebut maka diharamkan. Bagaimana penjelasan mengenai hal ini? Simak penjelasan selengkapnya dari pembahasan fikih akhlak oleh Ustadz Badrusalam, dari bahasan *kitab Fiqhul Akhlaq*, dengan cara download ceramah agama ini, atau dengarkan langsung dari player yang tersedia. Semoga bermanfaat.
*Download Ceramah Agama* :
Tidak Diperbolehkan Meminta-minta kecuali Tiga Golongan Ustadz Abu Yahya Badrusalam - Fiqhul Akhlaq:
*Link Tautan Downloud* : [ 1:11:50 | 16.5 MB ] :
http://www.radiorodja.com/?p=8259Facebook1.5kTwitter26Google+16Like0Ceramah agama
Hukum Meminta-Minta (Mengemis) Menurut Syari’at Islam
*HUKUM MEMINTA-MINTA (MENGEMIS)*
*MENURUT FEKAH DAN TASAWUF ISLAM*
*Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas*
*DEFINISI MINTA-MINTA (MENGEMIS)*
Minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Mengemis itu identik dengan penampilan pakaian serba kumal, yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya.
Hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengemis –salah satu faktor penyebabnya dikarenakan mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.
*FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG SESEORANG UNTUK MENGEMIS DAN MINTA-MINTA*
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang mencari bantuan atau sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat permanen, dan ada pula yang bersifat mendadak atau tak terduga.
Contohnya adalah sebagaiberikut:
1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.
Karena mereka memang tidak memiki gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang.
Sama seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin, orang-orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan selainnya.
2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang mengalami kerugian harta cukup besar.
Contohnya seperti para pengusaha yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang yang jatuh bangkrut atau para petani yang gagal panen secara total.
Mereka ini juga orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya.
Apalagi jika mereka juga dililit hutang yang besar sehingga terkadang sampai diadukan ke pengadilan.
3. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat sepertikebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka terpaksa harus minta-minta.
4. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya.
Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang semisalnya.
Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya, atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengancara mengemis.
*JENIS-JENIS PENGEMIS*
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok :
1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuanSecara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan mencari makan sehari-hari.
Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga diri dan ingin menjaga kehormatannya.
Mereka tidak mau meminta kepada orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di sekitarnya.
*Allah Ta’ala berfirman* :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ“
*(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui”* [al-Baqarah/2 : 273].
2. Kelompok pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat.
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis.
Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran.
Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.
*PANDANGAN SYARIAT & TASAWUF TERHADAP MINTA-MINTA (MENGEMIS)*
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu. Alasannya bukan hanya karena melanggar dosa, tetapi juga karena perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan.
Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang meminta bantuan.
Padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya, terlebihkalau sampai kedok mereka terungkap.Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak.
Diantara hadits-hadits tersebut ialah sebagai berikut.
*Hadits Pertama*
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
:مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
*“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”*.[1]
*Hadits Kedua Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda*
:مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
*“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api”*[2].
*Hadits Ketiga*
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
:َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
*“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu”* [3]
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran hingga hingga kita hampir jatuh ke lembah dosa seperti *terpaksa mencuri* , maka daripada ia mencuri dan merompak, adalah lebih baik dia meminta pada penguasa yang memang Allah memberi kewajipan atas mereka untuk membantu fakir miskin.
Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin. Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya. Namun, *tidak boleh sering meminta kepada penguasa*.
Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
*Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda*
:يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
*“Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)”.*
Kemudian Hakîm berkata: *“Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”*.
Ketika Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm Radhiyallahu ‘anhu untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima.
Namun, *Hakîm tidak mau menerimanya* (kerna berpegang kepada nasihat Nabi SAW, serta demi menjaga air mukanya) atas sebab ia telah berjanji kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu *namun ia juga tidak mau menerimanya.*
Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata di hadapan para sahabat : _*“Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu ‘anhu tidak mau menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ia meninggal dunia”.*_[4]
Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan tetapi tidak boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm.
Hadits ini juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu ‘anhu pada waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.
*ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA*
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkatab:
*Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda*:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْلَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
*“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang*:
*(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,*
*(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan,*
*(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.*[5]
*KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA*
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta.
Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta), sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya
.لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
*“(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui”* [al-Baqarah/2 ayat 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu ‘anhu dari *Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :*
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
*“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya”.* [6]
Seseorang yang menjual kayu bakar yang ia ambil dari hutan adalah lebih baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain.
Nabi SAW menjelaskan jalan yang terbaik karena meminta kepada orang lain hukumnya haram dalam Islam, baik mereka (orang yang dimintai sumbangan) itu memberikan atau pun tidak.
Tetapi yang terjadi pada sebagian kaum muslimin dan thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada orang lain, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar.
Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yang terbaik ialah kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yang kita dapat, baik sedikit maupun banyak, dan sesuatu yang kita dapat itu lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.
Seorang anak yang minta kepada kedua orang tuanya, atau orang tua kepada anaknya, atau isteri kepada suaminya, ini tidak termasuk dalam hadits ini.
Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Jadi, kalau anak meminta kepada orang tuanya, tidak termasuk dalam hadits ini, begitu pun sebaliknya. Karena pada hakikatnya harta anak itu milik orang tuanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنْتَ وَمَالُكَ ِلِأَبِيْكَ.
*“Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu”.*[7]
Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka tidak meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat membutuhkan.
Tetapi, orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan diri mereka dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.
Orang yang paling berbahagia dan yang paling beruntung dalam hidup ini adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.
Contohnya, orang yang hanya mendapat rizki Rp 5000,- (Lima ribu rupiah) sehari, kemudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yangpaling beruntung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan apa yang Allah berikan kepadanya.
*Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda*
:قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
*“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya”.*[8]
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, *Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
:مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
*“Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan yang cepat”.*[9]
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya tidak akan tertutupi.
Kita dapat saksikan betapa banyaknya kaum Muslimin yang tertimpa musibah dan kesulitan mereka adukan semuanya kepada orang lain, baik dengan mengatakan bahwa ia sedang sakit atau sedang bangkrut usahanya atau selainnya.
Tetapi, apabila mereka sedang mendapatkan senang dan mendapat keuntungan, mereka tidak mengadukannya kepada orang lain.
Seseorang yang mengadukan kefakiran dan kesulitannya agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu tetap tidak akan menutup kefakirannya.
Namun jika ia merasa cukup dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan, dan ia mengadukan segala kesulitannya kepada Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu dan akan menambah karunia yang telah diberikan-Nya kepadanya.
Apabila Allah Ta’ala mentakdirkan kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan yang kita alami kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar yang baik dan rizki, baik cepat maupun lambat.
Kita harus mengimani, memahami, dan mengamalkan hadits ini dalam kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yang mendengar kesulitan kita.
Adapun manusia, mereka tidak suka mendengar kesulitan orang lain. Islam menganjurkan kita untuk berusaha, berdasarkan ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan usaha ini tidak mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu maupun mengajar dan mendakwahkan ilmu.
*KESIMPULAN DARI HAL YANG DIJELASKAN* :
Ada beberapa poin yang dapat diambil sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, di antaranya :
1. Harta yang kita peroleh dengan usaha kita sendiri adalah diberkahi.
2. Bila kita mengalami kesulitan, maka kita harus mengadukannya kepadaAllah Ta’ala.
3. Dianjurkan untuk menjaga diri (ta’affuf), dan tidak meminta-minta kepada orang lain.
4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabatnya, agar mereka tidak meminta-minta kepada orang lain.
5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para sahabat dan ummatnya untuk meminta-minta kepada orang lain.
6. Harta yang diperoleh dari minta-minta adalah tidak berkah.
7. Meminta-minta menghilangkan rasa malu.
8. Meminta-minta adalah perbuatan yang haram dan hina.
9. Harta hasil dari meminta-minta tanpa kebutuhan adalah haram.
10. Meminta-minta adalah cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya.
11. Orang yang meminta-minta kepada manusia tanpa kebutuhan, maka pada hari Kiamat tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.
12. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin dengan Surga bagi siapa saja yang menjamin dirinya untuk tidak meminta-minta kepada orang lain.
13. Orang yang meminta-minta berarti ia meminta bara api Neraka Jahannam.
14. Meminta-minta tidak akan dapat menutupi kefakiran seseorang.
15. Kita harus berputus asa terhadap apa yang dimiliki orang lain, dan hanya mengharapkan apa yang ada di Tangan Allah Ta’ala.
*KHATIMAH*
Di akhir pembahasan ini saya wasiatkan kepada kaum muslimin, para penuntut ilmu, dan para dai agar menjaga kehormatan dirinya dengan tidak minta-minta kepada orang dan tidak mengharap sesuatu kepada manusia.
Bagi pemilik harta hendaklah ia menginfakkannya pada jalan yang disyariatkan. Bagi mereka yang fakir, hendaklah bersabar dan memohon kecukupan kepada Allah.
Dan kepada orang kaya yang tidak mengeluarkan zakatnya -demikian pula para pengacau dakwah yang mencuri harta orang lain untuk kepentingan kelompoknya, hendaklah mereka takut akan siksa Allah Ta’ala.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta.
Sesungguhnya Allah Mahadermawan, Mahamulia.Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, Sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Dan akhir dari dakwah ini ialah segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
No comments:
Post a Comment