Saturday 11 January 2014

sharon

Ariel Sharon: Akhir Kisah Hidup 'Si Buldozer' Israel

Mantan PM Israel itu wafat di usia 85 tahun

ddd
Minggu, 12 Januari 2014, 06:47 Dedy Priatmojo, Santi Dewi
 PM Israel Ariel Sharon semasa sehat
PM Israel Ariel Sharon semasa sehat(REUTERS/David Furst/Files )

VIVAnews - Mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, wafat di usia 85 tahun pada Sabtu, 11 Januari 2014 sore. Setelah tak sadarkan diri selama delapan tahun akibat menderita stroke di tahun 2006 silam, Sharon menutup mata untuk selamanya di RS Tel Hashomer, pinggiran ibukota Tel Aviv.

Kantor berita CNN melansir, di mata warga Israel, Sharon boleh jadi dianggap seorang pahlawan. Baik ketika dia masih berjuang untuk kemerdekaan Israel di tahun 1948 silam maupun ketika sudah menjadi warga sipil dan mengabdi bagi negaranya.

Tetapi Dunia Arab menjulukinya sebagai "Tukang Jagal Beirut" karena memerintahkan invasi berdarah ke Lebanon tahun 1982 silam. Julukan lain bagi dia yaitu si "Buldozer" karena kerap menggusur rumah-rumah warga Palestina yang wilayahnya dicaplok untuk dibangun pemukiman Yahudi.

Terakhir, dia pernah membuat keputusan kontroversial yang ditentang oleh kelompok konservatif Israel sendiri. Pada pertengahan Januari 2005 silam, dia memerintahkan penarikan Tentara Israel dan para pemukim Yahudi dari Jalur Gaza.

"Saya dapat berbicara dan melihat warga Israel dan meyakinkan mereka untuk berkompromi. Saya harus mengambil keputusan menyangkut hidup matinya seseorang dan juga diri saya sendiri. Yakinlah, saya memahami pentingnya makna perdamaian ketimbang politisi mana pun," ungkap Sharon di bulan Agustus 2001 silam.

Berperang Sejak Muda

Sharon dilahirkan dengan nama Ariel Scheinerman di Bukit Sharon, luar ibukota Tel Aviv pada 26 Februari 1928. Kedua orangtuanya, Shmuel dan Devorah, merupakan petani yang berasal dari Rusia.

Namun, ladang milik orang tuanya itu kerap disasar aksi penyerangan oleh suku dari negeri tetangganya, Arab. Otomatis hal itu menyebabkan Sharon belajar bagaimana cara berperang sejak usia dini.

Menurut kantor berita BBC, kendati masih bocah, Sharon biasa menyembunyikan senapan keluarganya di bawah kotoran sapi di saat pasukan Inggris melintas. Semangat berperang telah tertanam di dalam diri Sharon. Di usia 14 tahun, Sharon bergabung dengan kelompok Haganah, sebuah organisasi militer Yahudi yang menjadi pendahulu tentara Israel.

Enam tahun kemudian, di tahun 1948, dia memimpin satu kompi infrantri, ketika Israel akan terbentuk sebagai negara.

Namun, di sisi lain, sang ayah mengajarkan pelajaran hidup yang penting dengan memiliki ladang.

"Ketika ayah melihat saya lelah, dia akan berhenti sejenak dan mengatakan 'lihat berapa banyak yang telah kita kerjakan'. Oleh sebab itu, dari waktu ke waktu, saya selama mencoba dan berpikir sudah sejauh apa yang kami lakukan," ujarnya.

Keputusan Kontroversial

Selama masih hidup, Sharon kerap membuat keputusan yang dinilai beberapa pihak kontroversial. Salah satunya yang membetot perhatian publik dunia terjadi di tahun 1953 silam, ketika dia menyerang sebuah desa di Tepi Barat.

Sharon kemudian membentuk unit khusus di tentara pertahanan Israel (IDF) untuk membalas dendam serangan sebuah kelompok teroris asal Yordania ke negaranya. Unit khusus yang diberi nama 101 dan satu kompi tentara penerjun payung pada bulan Oktober menggempur Desa Qibya.

Sharon menginstruksikan IDF hanya menghancurkan 10 rumah. Namun, pada kenyataannya IDF malah menembakki 45 rumah warga, sekolah dan mesjid. Akibatnya sebanyak 69 orang tewas dalam aksi pembantaian tersebut.

Sharon mengira bahwa rumah itu kosong dan tidak dihuni. Aksi penyerangan ke Desa Qibya menuai kritik dan kecaman dari banyak pihak, termasuk Departemen Luar Negeri AS, Dewan Keamanan PBB, dan komunitas Yahudi di seluruh dunia. Sebagai konsekuensinya, Pemerintah AS lantas menghentikan sementara bantuan keuangan untuk Israel.

Atas kejadian itu, mantan PM, David Bengurion, sampai harus meminta maaf secara formal di hadapan publik akibat tindakan tentaranya yang melewati batas.

Momen kontroversial lainnya yang pernah dia alami yaitu ketika di tahun 1982 silam, dia memerintahkan invasi ke Lebanon ketika menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Tujuannya untuk memaksa mundur para pejuang organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diduga bersembunyi di sana.

Dalam hitungan hari saja, tentara dan peralatan militer Israel telah berhasil mengepung ibukota Beirut. Setelah peperangan berlangsung dua bulan, sebanyak 14 ribu pejuang PLO dan Suriah pun akhirnya setuju untuk meninggalkan Beirut.

Namun, puluhan ribu warga Palestina yang tinggal terpaksa terjebak kamp pengungsi seperti Sabra dan Shatila di Beirut. Bahkan, pada waktu itu Sharon telah mengingkari janji saat bertemu dengan perwakilan AS untuk menegakkan perdamaian.

Sharon lantas membuat kesalahan fatal dengan mengizinkan musuh PLO, kelompok militan Falangis Kristen masuk ke dalam kamp tersebut. Mereka akhirnya membantai sekitar 800 orang pengungsi asal Palestina dan dua ribu korban lainnya masih terus didebatkan.

Falangis melakukan hal itu, karena mengira mantan pemimpin Falangis yang sebelumnya adalah Presiden Lebanon, Bashir Gemayel, tewas dibunuh militan Palestina. Peristiwa itu terjadi pada 16-18 September 1982.

Aksi itu kembali menuai kecaman dari seluruh dunia. Efeknya sekitar 400 ribu orang ikut unjuk rasa setelah melihat situasi di Australia. Gara-gara kejadian itu, Sharon lantas disebut sebagai seorang pembunuh.

Keputusan lain yang dinilai kontroversial yaitu ketika Sharon di tahun 2002 akhirnya menyetujui tindakan sepihak untuk membangun sebuah pembatas di Tepi Barat setelah terjadi beberapa serangan mematikan yang dilakukan oleh militan Palestina. Padahal pembatas tersebut dibangun di atas lahan Palestina.

Namun, Sharon berdalih pembangunan pembatas itu untuk mencegah aksi para teroris memasuki kota-kota di Israel. Selain itu dengan adanya pembatas tersebut dapat melindungi mobil dan warga Israel dari serangan senjata api.

Belum lagi kunjungan provokatif yang pernah dia lakukan ke Mesjid Al-Aqsa di Yerusalem tahun 2000 silam. Kendati Sharon ngotot mengatakan bahwa kunjungannya ke tempat suci kaum Muslim hanya untuk menyampaikan pesan damai, namun banyak yang menyebut bahwa dia sudah mengetahui risiko kunjungannya akan menimbulkan kekisruhan.

Saat Sharon berkunjung ke komplek Mesjid, aksi unjuk rasa pun langsung merebak dan berubah menjadi kerusuhan. Tentara Palestina kemudian melancarkan serangan kedua atau intifada ke wilayah Israel.

Beralih Jadi Politisi


Di tahun 1972, Sharon memutuskan untuk pensiun dari dunia militer dan mengejar karier di kehidupan publik sebagai politisi. Dia kemudian membentuk Partai Likud tak lama setelah meninggalkan militer.

Namun, pembentukan itu sempat tertunda ketika dirinya diminta kembali ke medan perang untuk mengatasi serangan mengejutkan yang dilakukan Suriah dan Mesir pada Oktober 1973 silam. Dengan menggunakan kendaraan lapis baja, dia membalas serangan itu.

Tetapi serangan itu gagal. Israel tidak berhasil menghancurkan tentara militer Mesir dan dianggap sebagai sebuah kesalahan besar. Sharon lantas menyebutnya sebagai "perang yang tak diperlukan".

Setelah memastikan karier di bidang militernya berakhir, Sharon memutuskan untuk mengabdi secara penuh sebagai politisi. Pada Desember 1973, dia terpilih sebagai salah satu anggota parlemen Knesset dari Partai Likud.

Kemudian, kariernya melesat begitu cepat bak meteor. Di pertengahan tahun 1970an, dia terpilih sebagai penasihat keamanan bagi mantan PM Yitzhak Rabin. Lalu, oleh penerus Rabin, Menachem Begin, Sharon diangkat sebagau Menteri Pertanian di tahun 1977 silam.

Saat itulah dia merencanakan untuk membuat bangunan permanen di tanah yang diduduki Israel tahun 1967 silam.

"Saya yakin, apabila kita berhasil membangun pemukiman ini, maka kami akan merasa cukup nyaman menerima risiko demi kepentingan perdamaian," ujar Sharon saat itu.

Keluar Masuk Pemerintahan


Sharon sempat diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan, lantaran kasus pembantaian pengungsi Palestina oleh militan Falangis Kristen. Komisi pencari fakta kemudian memutuskan Sharon turut bertanggung jawab karena membiarkan kelompok militan itu memasuki kamp pengungsi.

Namun, Sharon menolak bertanggung jawab terhadap tragedi tersebut.

"Tidak sedikit pun terlintas di benak kami, bahwa mereka akan melakukan hal semacam itu," ujarnya memprotes keputusan komisi pencari fakta.

Dia berdalih, kelompok militan Falangis telah diberikan peringatan keras. Apabila sejak awal, kata Sharon, mereka tahu bahwa aksi semacam itu akan terjadi, tentu mereka tidak akan mengizinkan Falangis masuk ke dalam kamp.

Tetapi komisi tersebut lantas menyimpulkan bahwa Sharon mengabaikan bahaya yang akan menimpa para pengungsi Palestina. Alhasil dia direkomendasikan untuk dicopot dari jabatannya.

Saat itulah, menurut penasihat senior Sharon, Raanan Gissin, mengatakan bosnya merasa dikhianati oleh Pemerintahan yang berkuasa. Namun, Sharon dapat kembali menjejakkan kaki di kubu Pemerintah ketika secara tidak diduga Partai Likud memilihnya untuk menggantikan pemimpin partai sebelumnya, Benyamin Netanyahu.

Di tahun 2001 silam, Sharon berhasil meraih kekuasaan tertinggi dengan terpilih sebagai Perdana Menteri. Seperti para pendahulunya, saat akan terpilih, Sharon menjanjikan perdamaian dan keamanan bagi warga Israel dapat diraih. Namun, Sharon dianggap hanya mencapai tujuan semu.

Jatuh Koma


Sosok yang dianggap tidak pernah bisa dihentikan itu, secara tidak terduga menderita stroke ringan pada 18 Desember 2005. Namun, Sharon masih bisa menyembunyikan penyakitnya.

Tetapi dua minggu kemudian, dia kembali ke ruang perawat intensif di RS Universitas Hadassah di Yerusalem. Sharon sempat menjalani operasi dalam periode 24 jam.

Serangan stroke kedua terjadi pada Januari 2006. Namun stroke yang dideritannya kali ini jauh lebih parah, karena telah terjadi pendarahan di bagian otaknya. Situasi ini mengakibatkan dia jatuh koma dan tidak pernah bangun hingga dinyatakan wafat hari Sabtu sore kemarin

No comments:

Post a Comment