Monday, 30 January 2017

sufi

SALAH seorang Sufi yang mengajarkan kebenaran melalui tingkah jenaka ialah NASRUDIN HOJA. Beliau menyuruh kita untuk menertawakan diri kita sendiri.
Nasruddin Hoja seperti Abu Nawas di Timur Tengah, atau Kabayan di Tanah Sunda. Dengan kejenakaannya beliau mewariskan kebijakan dan kearifan.
Berikut adalah salah satu kisah Nasrudin Hoja.
Alkisah, para filusuf, ahli ilmu mantiq, dan ahli hukum semuanya berkumpul di istana. Mereka bergabung untuk menginterogasi Nasruddin Hoja. Perkaranya Nasruddin telah berbuat kesalahan yang amat serius. Nasruddin seringkali datang ke berbagai tempat meneriakkan satu khotbah yang sama.
Dalam khotbahnya beliau menyebut orang-orang ahli ilmu, seperti para ulamak sebagai orang yang bodoh. Tentu saja, khotbah Nasruddin ini dianggap mengganggu ketertiban negara dengan mencela para ahli ilmu.
Singkat cerita, mereka yang merasa tersinggung meminta Raja untuk mengadili Nasruddin Hoja. Digelarlah sebuah pengadilan dengan Nasruddin sebagai terdakwa tunggal.
"Hai Nasruddin" ucap Raja
"Ya Baginda" sahut Nasruddin.
"Aku bermurah hati padamu, engkau mendapat giliran untuk bicara terlebih dahulu sebagai pembelaan atasmu, apa alasan khotbahmu itu"
Nasruddin lalu meminta dibawakan beberapa lembar kertas dan pena. Setelah itu beliau berkata, "Tolong bagikan kepada para pakar yang ada di ruangan ini, masing-masing secarik kertas dan sebilah pena."
Setelah setiap orang pakar mendapatkan kertas dan pena, Nasruddin berkata lagi, "Aku mohon kepada setiap ahli untuk menuliskan di kertas itu jawaban untuk pertanyaanku ini. Apa yang dimaksud dengan roti?"
Setiap para ahli ilmu, cendekiawan, ulama yang ada di tempat itu lalu menuliskan apa yang mereka ketahui tentang roti. Jawaban para pakar itu lalu dikumpulkan dan diserahkan kepada Raja. Raja pun membacanya satu demi satu.
Ahli ilmu pertama menulis, "Roti adalah sebuah makanan." Ulama kedua menjawab, "Roti adalah tepung bercampur dengan air." Si filsuf menulis, "Roti adalah karunia Tuhan." Ahli mantiq selanjutnya menjawab, "Roti adalah terigu yang telah dimasak." Cendikiawan berikutnya menulis, "Roti merupakan makanan bergizi." demikian seterusnya Setiap orang yang terkenal ahli ilmu itu menulis jawaban yang berbeda-beda, masing-masing bergantung pada pemaknaan mereka akan sebuah roti.
Setelah mendengar semua jawaban itu, Nasruddin berkata kepada Sang Raja, "Kalian yang hadir disini adalah ahli ilmu namun tak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang sama dari sebuah pertanyaanku tentang roti."
"Wahai Baginda Ketika mereka tidak dapat memiliki jawaban yang sama apa yang dimaksud sebagai roti, apakah mereka berhak menentukan khotbahku benar atau salah, inilah maksudku mereka adalah orang-orang yang bodoh"
Beliau melanjutkan, "Dapatkah Baginda mempercayakan urusan penilaian atau keputusan kepada orang-orang seperti ini? Bukankah amat aneh bila mereka tidak sepakat akan sesuatu yang mereka makan setiap hari, tetapi mereka sepakat untuk menentukan bahwa khotbahku salah?"
Cerita Nasruddin di atas sebenarnya merupakan sebuah sindiran seorang Sufi kepada mereka yang merasa ahli ilmu, mereka yang sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab mana yang benar dan mana yang sesat. Bukankah ketika kita belajar fikih, kita dihadapkan kepada berbagai perbedaan pendapat. Kita akan dianggap orang yang paling pandai apabila kita bisa mengetahui segala pendapat yang berbeda itu, lalu memutuskan bahwa pendapat kitalah yang paling benar.
Nasruddin Hoja memberikan pelajaran kepada para ahli ilmu, pemikir, pakar agama, ahli fikih, dan para filusuf tentang hal itu dengan cara yang amat halus. Menurutnya, mereka yang berilmu itu sebetulnya hanyalah orang-orang jahil, yang kebingungan dan tak bisa menyamakan pendapatnya. Bahkan hanya dalam urusan sepele seperti roti yang dimakan setiap hari.
Kisah Nasruddin seakan hendak menyampaikan kepada kita semua bahwa di atas keberagamaan yang terpecah-pecah ke dalam berbagai mazhab itu, terdapat satu keberagamaan yang disepakati bersama. Seseorang akan menjadi lebih arif apabila ia meninggalkan hal yang dipertengkarkan dan memasuki satu hal yang disetujui bersama.
Tidaklah mungkin bagi kita untuk membuat semua orang berpendapat sama tentang cara bagaimana menjalankan keberagamaan yang berbeda dengan benar. Banyak orang mengatakan ikhtilaf dalam agama akan segera berakhir bila kita kembali pada AI-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Mereka lupa bahwa ketika para ulama kembali merujuk pada Al-Quran dan Sunnah, di situlah dimulai perdebatan dan perbedaan pendapat.
Masalah tayamum saja misalnya. Ketika para ulama kembali kepada Al-Quran untuk membaca ayat tentang tayamum, mereka akan mengambil kesimpulan yang berbeda berdasarkan penafsiran masing-masing.
Hampir semua ulama sepakat akan hadits Nabi, "Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah dewasa." Tapi dari satu hadits ini saja, terdapat tak kurang dari tujuh mazhab yang menafsirkan ketentuan ini. Setiap mereka mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling sahih.
Seringkali orang awam dibingungkan oleh perbedaan pendapat antara ulama. Terkadang segala perbedaan itu berujung pada kebingungan ummat dan tak tahu harus menjalankan pendapat yang mana. Bila kita ikuti mazhab yang satu, mazhab yang lain akan menganggapnya sesat.
Kepada mereka yang kebingungan, Nasruddin berkata, “Janganlah kau ikuti berbagai macam pendapat yang ada. Kau takkan mungkin dapat mempersamakan para ulama itu." Para ulama yang berbeda paham tersebut hanya mencapai bagian luar dari ajaran agama. Dimensi eksoteris agama akan selalu menghasilkan perbedaan pendapat. Namun bila kita menukik lebih dalam lagi, ke substansi dari ajaran agama, semua mazhab akan menemukan titik temu. Ke sanalah jalan para Sufi menuju.
Meskipun demikian, jalan Sufi bukan berarti meninggalkan syariat yang dirumuskan berlainan oleh para ulama. Jalan Sufi hanya mengungkap bahwa di balik perbedaan syariat itu, terdapat persamaan tharekat dan hakikat.
Secara sederhana, semua ini mengajarkan kepada kita untuk tidak menilai keberagamaan seseorang dari pendapatnya yang bermacam-macam, tetapi dari amal salih yang ia lakukan. Bukankah dalam AI-Quran, Allah berfirman : "Dan masing-masing orang memperoleh derajat yang sesuai dengan amalnya. " (QS. AI-An'am; 132)
Janganlah kita melihat saudara-saudara kita dari mazhab yang mereka anut, tapi marilah kita ukur mereka dari akhlak dan amalnya, dari kontribusi mereka bagi kepentingan kaum muslimin dan seluruh manusia.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, "Yang paling baik di antara kamu, ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya."Dalam hal ini, semua ulama sepakat.
Orang yang paling banyak manfaatnya itulah orang yang paling utama, apapun mazhabnya.
Wallahu a'lam

No comments:

Post a Comment