Wednesday, 9 December 2015

Tasawuf&tazkirah

JIKA KASYAFMU BERTENTANGAN DENGAN KITAB DAN SUNNAH, MAKA LAKUKANLAH APA YANG ADA PADA KITAB DAN SUNNAH, TINGGALKANLAH KASYAF DAN KATAKANLAH PADA DIRIMU: SESUNGGUHNYA ALLAH TELAH MENJAMIN BAHAWA TIDAK ADA KESALAHAN DALAM QURAN DAN SUNNAH, DAN TIDAK MENJAMIN BAHAWA TIDAK ADA KESALAHAN DALAM KASYAF DAN ILHAM". SYEIKH ABU HASAN AS-SYAZILI)


Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Allahummashalli alaa SAYYIDINA muhammad wa ala alihi SAYYIDINA Muhammad

Saudara2ku yang dirahmati Allah


Silakan duduk💺💺💺 ya saudara2ku .. Mari di sini kita berkumpul

"Wa nahnu aqrobu ilaihi min qoblil warid"

bahwa Tuhan itu sangatlah dekat lebih dekat daripada urat leher kita ! tapi mengapa kita buta dan tidak dapat  merasakan bahwa kekuatan agung itu bersama kita?!.

Pengertian "dekat Allah s.w.t. dengan kita" ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan pada kehendak (iradah).

DekatNya Allah dengan kita pada 'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, zahir dan bathin, semuanya diketahui oleh Allah s.w.t. dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada ini belum diciptakanNya, selain yang ada hanya Dia, yakni Allah s.w.t.

Dekatnya Allah dengan kita pada 'kekuasaan' (qudrat), artinya segala sesuatu apa pun, baik yang adanya dari tiak ada atau kebalikannya, ataupun apa saja yang terjadi, sama sekali tidak luput dari kekuasaanNya atau qudratNya.

Maka demikian pulalah dengan iradahNya (kehendakNya).

Dan atas inilah semua tafsir dari firman-firman Allah s.w.t. yang menggambarkan dekatNya kepada makhluk-makhlukNya sebagai berikut :

Pertama, ayat 16 dalam Surat Qaf juz 26:

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf: 16)

Kedua, ayat 85 dalam Surat Al-Waqi'ah juz 27:

"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat." (Al-Waqi'ah: 85)

Ketiga, ayat 4 dalam Surat Al-Hadid juz 27:

"...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Al-Hadid: 4)

Pengertian dekat kita kepada Allah ialah kita merasakan dengan "Ilmul-Yaqin" bahwa : Alam mayapada ini pada hakikatnya tidak ada, yakni tidak ada padanya wujud yang hakiki, karena ia berasal dari tidak ada dan akan kembali kepada tiada. Atau asalnya tiada, kemudian ada dan seterusnya dengan kehedak Allah dan kekuasaanNya. Ia akan ada terus, seperti syurga dan neraka.

Sedangkan wujud yang hakiki, yakni wujud yang tiada permulaannya dan tiada pula disudahi dengan tiada, ialah wujudnya Allah s.w.t. Dia tidak diliputi oleh tempat dan zaman atau masa. Bahkan Dia tidak seumpama dengan sesuatu apa pun dalam alam mayapada ini.

Apabila hal keadaan ini semua sudah merupakan Ilmul-Yaqin bagi kita, kemudian masuk meresap ke dalam bathin penghayatan kita, maka barulah ketika itu hati dan semua perasaan kita dapat melihat bahwa Allah s.w.t. dekat dengan kita.

Dia melihat kita dan melihat segala gerak-gerik kita, lahiriah kita dan bathiniah kita. Barulah ketika itu kita merasakan cinta kepadaNya dengan melaksanakan apa-apa yang diridhaiNya, dan begitu takut padaNya apabila terkerjakan apa-apa yang tidak diridhaiNya.

Dan pada ketika itu pula kita senantiasa menjaga dan memelihara adab dan akhlak terhadapNya dengan adab-adab kita sebagai hambaNya kepada Dia yang bersifat dengan kemahasempurnaan dalam sekalian sifat-sifatNya.

Penghayatan yang sedemikian rupa adalah merupakan zikrullah yang paling penting yakni ingatnya kita kepadaNya dalam segala pekerjaan lahiriah yang kita sedang kerjakan, apakah itu bersifat dunia atau bersifat agama.

Dan apalagi jikalau penghayatan yang demikian itu kita bawa serta ke dalam solat kita dan ibadat-ibadat kita lainnya.

Yang demikian itulah disebut dengan hakikat "Al-Ihsan", yakni keterpaduan antara "Al-Iman" dengan "Al-Islam", atau dengan kata lain keterpaduan antara kepercayaan kepada Allah s.w.t. dengan pelaksanaan ajaran-ajaranNYa seperti apa yang Dia telah wahyukan kepada Nabi-nabiNya sepanjang zaman, sejak Adam a.s. hingga Nabi dan RasulNya terakhir Muhammad s.a.w.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahawa pengertian "dekat" di sini bukanlah maksudnya pendekatan dalam arti biasa dan umum menurut kelaziman kita sebagai makhlukNya, tetapi adalah menurut arti dan makna seperti yang kita uraikan di atas.

Di dalam Hadist Qudsi

"Laa Yarifallaahu Ghoirullah"
Yang mengenal Allah hanya Allah.

"Aroftu Robbi Bi Robbi"
Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan(billah)

Billah "mudah" diucapkan akan tetapi tidak semua orang mampu merasakan.

Ilmu boleh saja kita tumpuk, Tapi merasakan ilmu itu tidak semua orang boleh melakukan, maka jalan tercepat untuk dapat merasakan adalah dengan kita harus "tirakat/berlatih" dan tirakat yang termudah ialah tirakat hati berlatih merasa salah, penuh dosa, hina dihadapan Allãh kerana kita tempatnya salah dan dosa. Ini dilatih setiap saat dimanapun berada.

Rasululloh Saw bersabda:

"manusia adalah tempatnya salah dan lupa", dan "setiap anak adam pernah berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah ialah yang bertaubat".

Makanya apabila hati senantiasa seperti merasa menjadi hamba, itulah hakikat kekasih Tuhan, dan orang ini pasti "tersembunyi" tidak ada orang yang tahu.

Pada saat posisi itulah

"….maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". ( Al Furqon 70)

Maka temukanlah Tuhan, jangan kita sampai tertipu dengan bayangan yang kelam, kerana semua itu adalah menipu.

Allah menyatu dengan kita atau sebaliknya, kita ini yang menyatu dengan Allah.

Jika diperluas pemahaman tersebut, kita boleh  mengatakan bahwa Allah berada dihati kita.

Allah juga berada ditarikan dan hembusan nafas kita.

Allah berada dialiran darah dan denyut jantung kita.

Allah juga berada diseluruh kelenjar hormon kita.

Allah berada dibenak fikiran kita, otak dan seluruh saraf tubuh kita. Allah berada di milion proses biokimiawi yang menopang kehidupan kita.

Allah-lah yang berperanan dalam menghidupkan seluruh aktiviti kehidupan  kita, yang kita sedari maupun tidak dan yang dapat kendalikan maupun tidak.

Allah adalah penguasa kehidupan kita sepenuhnya dan mutlak.

Pemahaman seperti di atas akan membawa konsekuensi yang sangat radikal dalam ketauhidan kita... sehingga kita memperoleh kesimpulan bahawa ternyata Allah tidak berjarak sama sekali dengan makhluk-NYA. Kerananya kita sangat bisa memahami kenapa Allah mengatakan bahwa Dia tahu persis apa yang dibisikkan oleh hati dan fikiran kita. Kerana Allah memang berada dihati dan fikiran kita sendiri.

Lalu kita juga boleh memahami kenapa Allah mengatakan bahwa kita dalam berdoa tidaklah perlu dengan suara yang keras, (kuat) kerana Allah memang menyatu dalam setiap tarikan nafas dan getaran suara kita.

Cukuplah berdoa dengan cara suara berbisik-bisik kepada Allah kerana Allah Maha Pendengar dan lebih dekat dari pada urat leher kita.

Kemudian kita juga akan berfikiran kenapa kita harus menengadah kelangit ketika kita berdoa. Sementara kita tahu bahwa Allah begitu dekatnya bersama kita disini. Juga menjadi aneh ketika kita membayangkan dalam solat kita bahawa Allah berada di depan kita.

Sungguh dalam waktu yang bersamaan, Allah sedang berada di depan, di belakang, di kanan, di kiri, di atas, di bawah, dan di dalam diri kita. Atau yang lebih tepat lagi. “Kita sebenarnya sedang berada didalam-NYA dan bersatu dengan Allah.”

Firman Allãh :

"Kullu Syai In Haalikun Illaa Waj Hah"

"Segala sesuatu rosak hancur kecuali Allãh".

Sebagai gambaran

Analogi pertama :

Ada sebuah bayangan orang padahal mustahil ada bayangan akan tetapi tidak ada orangnya, Maka yang melihat bayangan harus upaya tahu dengan orangnya, dan siapa yang melihat orangnya tidak perlu melihat bayangan, kerana yang dituju adalah orangnya.

Analogi ke dua :

Ada sebuah benda ditangan saya, apabila kita menginginkan benda ditangan saya, tidak perlu melihat bayangan kerana ketika melihat benda, maka bayanganpun tidak ada. Akan tetapi apabila melihat bayangan harus mencari aslinya. (tolong fahami analogi ini)

Kesimpulan:

Apabila kita telah merasakan pendekatan seperti tersebut di atas berarti tingkatan Tauhid kita kepada Allah s.w.t. sudah berada dalam lingkungan daerah lapangan Tauhid buat hamba-hamba Allah yang shaleh, yakni para WaliNya menurut tingkatan nilai kemuliaan yang ditentukan olehNya.

Maka dunia sifatnya adalah rosak dan hancur berarti dunia dan seisinya adalah bayangan, maka siapa yang melihat dunia pasti tahu siapa dibalik itu semua, berarti ketika melihat dunia, melihat dirinya, melihat makhluk, melihat angan-angan, itu hakikatnya semua adalah bayang-bayang. Dan dibalik itu semua ada yang mencipta. Mustahil tidak ada yang mencipta !

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." ( QS Al Ikhlas 1-4)

Inilah inti hidup kita didunia, menemukan Tuhan ! Kerana dunia adalah bayangan, dan bentuk apapun bayangan adalah palsu. Maka jangan sekali-kali tertipu dengan bayangan.

Mudah-mudahan kita semua dengan bantuan Allah dapat berjalan ke arah lapangan tersebut agar dapat dekat kepada Allah. Aamiin.


"Wa nahnu aqrobu ilaihi min qoblil warid"


menekankan betapa pentingnya mengawali kegiatan beragama dengan mengenal Tuhan.

Pelaksanaan solat yang lima waktu sehari semalam yang katanya menjadi tiang agama, bagi yang tidak mengenal Tuhan (siapa yang di ibadahi), maka sholatnya adalah seperti orang senam.

Dengan alasan itu, seluruh kegiatan pengabdian dalam penghidupan baik didalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat harus didasari pengenalan Tuhan dengan benar dan sebenarnya. ~> Awal Beragama adalah Mengenal Tuhan.

Mengikuti suatu agama itu harus diawali dengan kesedaran bahwa pengetahuan setiap manusia tentang Tuhan sangat terbatas.

Kesedaran yang demikian, diharapkan dapat memicu keinginan untuk meningkatkan pengenalan Tuhan dengan lebih baik... Sebab, belumlah cukup mengenal Tuhan hanya dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah penguasa langit dan bumi sambil menunjuk ke atas.

Seseorang yang merasa puas dan merasa telah mengenal Tuhan cenderung salah mengenali-Nya. Kerana, rasa puas dapat menghalangi upaya untuk mengenal Tuhan secara benar dan sebenarnya.

Padahal, boleh jadi Tuhan yang disembah masih sebatas Tuhan bayangan ciptaan fikiran, belum Tuhan yang sebenarnya.

Dalam hal pengenalan Tuhan, perlu dibezakan antara makna kata “Mengenal” dan “Mengetahui”.

Mengenal tidak persis sama dengan mengetahui.

Yang dimaksud dengan “Mengenal” dalam hal ini adalah kemampuan membezakan.

Sedangkan “Mengetahui” tidak terbatas hanya makna kemampuan membezakan, tetapi juga memiliki pengetahuan tentang Hakekat Tuhan.

Oleh sebab itu, tujuan yang hendak dicapai dalam bahasan ini hanya sekadar Mengenal. ~> Dengan kemampuan membezakan antara Bariul (Kumpulan nama-nama Pencipta)  dan Baroya (kumpulan yang dicipta) Makhluk.


Siapakah Tuhan ?

Dalam kehidupan keseharian, orang sering menunjuk langit atau ke atas jika sesuatu yang dimaksudkannya dalam pembicaraan adalah Tuhan.

Ucapan yang diantara lain seperti “ Terserah Kepada Yang Di Atas ” adalah pernyataan pembenaran bahawasanya Tuhan berada di langit atau di atas.

Walau terkesan janggal, seperti banyaknya orang yang menyakini bahwa Tuhan bertempat di langit, jika memang keberadaannya di langit, alangkah baiknya sholat lima waktu sehari semalam tersebut dikerjakan menghadap ke atas.

Apakah Tuhan berada dihadapan, khusus ketika berdiri Sholat ?…

Seandainya bukan di atas dan bukan di depan, apakah Tuhan berada di Ka’bah, Mekkah ?

Kalau pemahaman ini yang diyakini, maka bangsa Arab atau penduduk sekitar kota Mekah lebih beruntung dari pada bangsa bangsa di benua yang berada jauh dari kota tersebut.

Berikut ini akan ditelusuri keberadaan Tuhan dengan memperhatikan ayat Allah yaitu  Al-qur’an sebagai sumber utama.

Pertanyaan : Apakah “Allah ” ?

Jawab : “ Allah ” adalah sebuah nama                      

Nama bukan Tuhan.

Jika nama tersebut ditulis dengan menggunakan kapur, ia adalah kapur.

Jika nama tersebut diukir pada sepotong kayu, ia adalah ukiran.

Kapur dan ukiran secara nyata bukanlah Tuhan.

Perumpamaan orang memohon kepada sebuah nama adalah seperti ia memohon pertolongan kepada kartu nama seseorang yang terbuat dari kertas.~> Kartu nama hanya barang cetakan atau benda mati.

Pertolongan mesti ditujukan kepada pemilik nama.

Oleh kerana itu, dalam mencari keberadaan Tuhan, yang dicari adalah Pemilik nama.

Pertanyaan : Nama siapakah “ Allah ” itu ?

Jawab : Nama Yang Hidup.

Dalam Al-qur’an dijelaskan bahawa Allah adalah nama dari Yang Hidup.      

QS. Al-Baqarah (2);255)

“Allah tidak tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)….”

Dari pemahaman ayat ini. Allah adalah nama dari Yang Hidup.

Jadi semua benda mati seperti patung, kerusi, keris, rumah dan mangkuk hayun bukan Tuhan.

Demikian pula manusia, haiwan dan tumbuhan tidak layak dijadikan Tuhan, kerana walaupun terlihat hidup tetapi kehidupan mereka tidak kekal. Bila sampai waktunya mereka dimatikan.

Sedangkan Pemilik nama Allah itu Hidup Kekal, tidak pernah mati.

Dia justeru Yang Mematikan, (An Najm (53):44).

Begitu juga “Dan tunduklah semua muka kepada Tuhan Yang Hidup Kekal….” (Thaahaa (20):111).

Dari ayat ini dapat difahami, bahwa Yang Hidup dan bernama Allah itu Kekal.


Siapakah Tuhan ?

Tuhan yaitu Segala sesuatu yang diagungkan oleh manusia dan berbentuk apa saja baik benda mati maupun benda hidup sesuai keinginan manusia, baik itu berada di atas, di bawah, di timur, di barat, di utara dan di selatan dimana saja…..itulah Tuhan.


Pertanyaan : Apakah “Allah ” ?

Jawab : Alif   Lam  Lam  Ha


Pertanyaan : Nama siapakah “Allah” itu ?

Jawab : Salah satu nama Dzat Mutlak yang mengadakan semua kehendak.

Hukum menyatakan dari Dzat Allah SWT dalam QS. Al-Isra (17);110)

“Qulid ‘ullaaha awid ‘urrahmaan, ayyammaa tad’uu falahul asmaaul husna…”

tafsirnya “Katakanlah hai Rasul kepada kaum musyrik itu ; Serulah Tuhanmu itu dengan sebutan “Allah”, atau serulah dengan sebutan “Ar-Rahman” Dengan sebutan yang mana saja kamu menyeru namanya di antara sekian banyak nama-namanya, semua bagus-bagus.

Penjelasan pada ayat tsb adalah semua kaum yang ingin beriman, dan ingin berdoa boleh menggunakan dengan sebutan Ya Allah atau Ya Rahman kepada itu nama, sebab itu tetap kepada  Dzat Mutlak/Dzat Laisa Kamislihi Syaiun sebanyak-banyaknya nama yang baik-baik, misalnya mau memanggil

Ya Allah Jalajalaluhu, Ya Rahmanu Jalajalaluhu dan seterusnya itu diperbolehkan kerana semuanya ditujukan kepada  Dzat Mutlak/Dzat Laisa Kamislihi Syaiun.


Allah adalah nama dari Yang Hidup (dari pertanyaan : Nama siapakah Allah itu…Jawab : Nama Yang Hidup)

Sifat Hayatun yakni Sifat Hidup dan lawannya Sifat Mautun yakni Sifat Mati.

Jadi Makhluk Allah Ta’ala itu ada yang disebut hidup dan ada yang disebut mati. Kalau yang disebut hidup seperti yang masih menjalani kehidupan di alam dunia atau bahasa lain gentayangan dan kalau yang disebut mati yaitu yang tidak berjasad.

Penjelasan firman Allah SWT dalam Surah Ar-Ruum ayat 19

“Allah Ta’ala itu mengeluarkan hidup alal mati dan yang mengeluarkan mati dari hidup”..

Sabda Nabi dalam Hadist Wakhalakha ‘lhayata wal maut “Dan Allah Ta’ala itu yang sudah membuat mati”..Oleh kerana itu Sifat Hidup dan Sifat Mati pasti menempelnya kepada Makhluk.


“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)…” (Al Baqarah (2): 255).

Selain bersifat hidup dan bersifat kekal, Pemilik nama Allah selalu mengurus makhluk-Nya.

Hal ini sangat luas artinya... Yang mengurus cacing dalam tanah, serangga dalam belukar dan ikan di dalam air adalah Yang Hidup Kekal bernama Allah. Kerana cacing serangga dan ikan adalah makhluk-Nya, tentu Dia yang mengurus mereka.


Pemilik nama Allah Yang Hidup Kekal dan Mengurus Makhluk-Nya


Pertanyaan : Dimanakah Dzat tersebut ?

Jawaban : Akrab pada diri hamba-Nya

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.Al Hadiid (57):4).

Dan sebagai gambaran atau ilustrasikan mengenai kedekatan antara kita (manusia) terhadap Allah SWT tersebut, mungkin akan terlihat seperti hubungan antara Daratan, Danau dan Lautan, yang dalam pengertian :

Daratan = Jasad (Jasmani)

Danau = Ruh (Rohani/ruh-Nya)

Lautan = Allah (Maha Ruh)

Daratan ~> yaitu hamparan tanah yang berada di atas permukaan air.

Yang tentunya, segala apa yang berada di atas hamparan tanah tersebut tentu akan sangat bergantung sekali terhadap keberadaannya air tersebut.

Kerana, tanpa adanya air maka hamparan tanah tersebut akan menjadi kering, gersang, tandus dan cenderung tidak akan menghasilkan apa-apa.

Demikian juga kaitannya dengan Jasad kita (manusia) yang tercipta dari saripati mani yang berasal dari unsur tanah, udara, api dan air.

Kerana, sudah tentu juga Jasad tersebut akan sengsara atau akan lebih dikendalikan oleh Jiwa (Nafsu) apabila kurang berperanannya Ruh (Rohani) dalam perjalanan kehidupannya.

Terlebih lagi jika Ruh sudah tidak lagi berada bersama jasad, maka pasti jasad tersebut akan menjadi bangkai yang membusuk yang tidak boleh berbuat apa-apa.

Danau ~> yaitu air yang tergenang di tengah-tengah daratan. Dan dipastikan air danau tersebut akan nampak lebih bening seperti air laut bila adanya sirkulasi air atau sering terjadinya pertukaran air dengan air laut.

Begitu juga sebaliknya jika tidak adanya sirkulasi (circulation) air, maka tentu air danau tersebut akan nampak lebih kotor, kuning dan akan lebih cenderung mengeluarkan bau yang tidak mengenakkan.

Kaitannya dengan Ruh (Rohani) adalah : bila kita sering berhubungan kepada Allah maka dapat dipastikan dalam proses perjalanan kehidupan kita sehari-hari akan lebih tampak eksistensi atau sifat-sifat Allah, sehingga jiwa (nafsu) akan lebih dikendalikan oleh Ruh, dan Ruh dapat kembali menjadi suci, dan dapat saja bersatu, menyatu dan melebur menjadi satu kepada Cahaya berlapis Cahaya.

Lautan ~> yaitu hamparan air yang sangat luas yang mengelilingi daratan dan danau.

Begitu juga dengan Allah, kerana apapun yang ada di dalam Jagad Raya ini, atau semua yang ada didalam alam semesta ini semuanya diliputi oleh Allah.

Dan tidak ada satupun yang ada dipermukaan bumi ini yang luput dari pengawasan Allah, kerana Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar dan Allah Maha Meliputi atas segala sesuatunya.

Dan berkaitan dengan kontek kedekatan antara Allah dengan hamba-Nya, yang kaitannya dengan ilustrasi diatas adalah : “Bahawa ternyata..!!!” antara lautan dan danau tersebut sesungguhnya terdapat persamaan unsur, dimana dari kedua nama atau sebutan keduanya tersebut, baik Lautan maupun Danau adalah sama-sama berunsur “air” yang hanya saja dibezakan media penampung dan jumlah besarnya saja.

Dan sudah pasti kita akan mengenal yang namanya air apabila kita sudah mengenal lautan, demikian juga sebaliknya, sudah pasti juga kita akan mengenal yang namanya air apabila kita sudah mengenal yang namanya danau.

Kerana, air yang berada di dalam danau pada dasarnya adalah air yang berasal dari dalam lautan, dan dua-duanya juga sebenarnya adalah sama-sama berunsur air.

Demikian juga hakikatnya kita dalam mengenal Allah, kerana dengan kita telah mengenal Ruh (roh-Nya) maka sudah dapat dipastikan juga kita akan mengenal Allah dalam skala kita manusia, kerana sesungguhnya hakikatnya Ruh (roh-Nya) yang berada pada diri kita (manusia) tersebut adalah berasal dari Allah, yang Allah tiupkan kepada Jasad sewaktu kita (manusia) berada didalam rahim atau kandungan ibu kita.

Dengan demikian, maka kiranya sudah sesuailah apa yang telah di disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW :

“Man arafa nafsahu faqad’ arafa Rabbahu”

(Kenalilah dirimu maka kamu akan mengenal siapa Tuhanmu). (HR Buchori Muslim)

Yang mana keterangan mengenai perihal tersebut menurut Guru besar ilmu tauhid Imam Ghozali di dalam bukunya HUDAYATUL ISLAM, tentang TIGA (3) DZAT yaitu :

● DZAT I yaitu yang dinamakan NUURUL ILLAHI yang artinya CAHAYA TUHAN

● DZAT II dinamakan : NUURUL MUHAMMAD yang artinya CAHAYA TERPUJI, atau yang dikiaskan yaitu menjadi UTUSAN TUHAN

● DZAT III dinamakan : NUURUL INSANI yang artinya MANUSIA (sukma)

Dan DZAT III (NUURUL INSANI) sesungguhnya merupakan percikan dari DZAT I, sehingga Dzat III tersebut tidak dapat kita pisahkan dari DZAT I (NUURUL ILLAHI).

Atau misalnya untuk pengertian hakekatnya yang lain juga seperti : dengan kita telah mengenal Ruh (roh-Nya), maka berarti juga kita sudah menyantuni anak yatim (telah menyantuni Ruh/Rohani yang tiada ber-Ayah dan tiada ber-Ibu). Yang berarti juga, bahwa kita telah membuka kesedaran bathin kita, yaitu dengan telah membuka jalur penghubung silaturahim antara Ruh (roh-Nya) dengan Maha Ruh (Allah).

Sehingga Ruh (roh-Nya) mampu mengetahui jalan kembalinya, baik semasa atau sewaktu masih hidup di dunia mahupun setelah meninggal dunia (mati).


Semoga bermanfaat
Salam persaudaraan 💖 📖 💖
Wassalam.


No comments:

Post a Comment