Sunday, 3 July 2016

MENGENAL ALLAH

*MENGENAL ALLAH MELALUI PARA WALI-NYA*
IMAM SUFI SALAFUSSOLEH DZUN NUN AL-MISRI

_*BAPA SUFI KEPADA MAZHAB CINTA ALLAH®*_

Pernah seseorang berkata kepada Imam Sufi Dzun Nun Al-Misri _(Bapa Kepada Ilmu Makrifatullah iaitu diantara beberapa imam Sufi Salafussoleh yang paling awal mempopularkan perkataan "Makrifatullah" @ "Mengenal Allah)_ :

_"Sungguh benar aku mencintaimu!"_ Lalu Dzun Nun Al-Misri menjawab : _"Jika engkau sudah  mengenali-Nya, maka memadailah engkau "mencintai" dengan Dia sahaja. Jika engkau belum mengenali-Nya, maka carilah orang yang boleh mengenalkanmu kepada-Nya sehingga dia bisa menunjukkan engkau jalan "sampai" kepada-Nya."_


*Kisah Aulia Sufi : Dzun-Nun Al-Misri*

Bismillaahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Dzun-Nun Al-Mishri adalah seorang tokoh sufi besar di abad ketiga Hijriah. Beliau, yang memiliki nama lengkap Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, dilahirkan di Akhmim, sebuah kota kuno di tepi timur Sungai Nil dan dataran tinggi di Mesir, pada tahun 796 M (180 H).

"Al-Mishri" pada nama belakang Dzun-Nun berarti "Mesir", adalah panggilan atau gelar terhadap Beliau dari orang-orang yang memang banyak berasal dari non-Mesir. Beliau belajar, mengajar, mengembara dan mengadakan banyak perjalanan di berbagai wilayah di Jazirah Arab, Maghreb, Palestina dan Syria (Baghdad).

Salah satu murid Beliau adalah Sahl Al-Tustari, seorang sufi Persia yang memperkenalkan khazanah tentangNur Muhammad(Hakikat Muhammadiyah) di dunia Tasawuf.

Disebutkan pula di sebuah riwayat, bahwasanya Dzun-Nun memahami rahasia bahasa Hieroglyph, sebuah sistem tulisan Mesir Purba yang banyak terdapat di berbagai piramid Mesir dan peninggalan bangunan kuno di Mesir iaitu beliau adalah di antara salah seorang para Sufi yang telah berjaya membuka kod kod rahsia dan makna di sebalik tulisan tulisan kuno di Piramid Mesir, yang bahkan sampai kini tak sepenuhnya terkuak rahsia maknanya yang ada di dalamnya oleh para Sainstis barat.

_Note : Dzun Nun Juga adalah dikenali sebagai seorang Sufi yang menguasai ilmu kimia tampa belajar, beliau berjaya menemukan kaedah membuat emas daripada beberapa campuran logam dan asid buah buahan dll yang mana rahsia ini masih gagal barat temukan formulanya. Kalau di jepun, hari ini mereka berjaya menemukan formula membuat mutiara, begitulah dengan Dzun Nun Al-Misri. Sesungguhnya para Aulia Allah itu penyimpang rahsia Allah dan segala rahsia pada alam maya dan bumi ini - wallahu'alam._

Beliau meninggal di Kairo pada tahun 856 M (246 H). Nama "Dzun-Nun" dan Huruf "Nun""Dzun-Nun" adalah julukan bagi Abu Al-Faidh, di mana nama itu secara harfiah berarti "penguasa ikan (nun)" – sebuah nama yang juga pernah disematkan kepada Nabi Yunus a.s. (lihat Q.S. Al-Anbiyaa' [21]: 87) dengan kisah taubatnya yang luar biasa di dalam perut ikan nun.

Dalam sebuah hikayat rakyat setempat disebutkan kisah ketika Dzun-Nun Al-Mishri menumpang sebuah kapal di suatu perjalanan. Di tengah laut, tiba-tiba seorang saudagar yang ikut serta di kapal tersebut kehilangan permatanya yang amat berharga.

Karena suatu alasan tertentu, tuduhan pencurian lalu ditujukan terhadap Dzun-Nun. Beliau pun disiksa dan dianiaya, serta dipaksa mengembalikan permata yang hilang itu.

Dalam keadaan tersiksadan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdoa, "Duhai Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Tahu." Mendadak seketika itu pula, muncul lah ribuan ekor ikan nunke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulutnya masing-masing.

Dzun-Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itulah, ia digelari "Dzun-Nun", sang pemilik ikannun.Namun istilah "dzun-nun", menurut Ibnu Arabi, juga memiliki pengertian yang lain, dan secara harfiah berarti pula "pemilik huruf nun" atau "pemilikdawat" – merujuk pada huruf Arab nun yang menyerupai dakwat (tempat tinta), berisikan tinta hitam pekat yang dengannya huruf-huruf dituliskan.ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُ وَ Nun — _dan demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis._ — Q.S. Al-Qalam [68]: 1Nun.

Menurut Sufi Ibnu Arabi,memiliki arti yang lebih dalam dan menyimbolkan makna tentang _sebuah rahsia,_ sebuah pintu menuju penerimaan taubat, Kemurahan dan Welas Asih-Nya, di mana hanya sedikit orang melalui pintu tersebut : yakni para pemilik nun, dzun-nun.

Huruf "Nun", menurut Ibnu Arabi, memiliki arti yang lebih dalam dan menyimbolkan makna tentang sebuah pintu rahasia menuju penerimaan taubat, Kemurahan dan Welas Asih-Nya.

Sufi Ibnu Arabi merujuk pada sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh Dzun-NunAl-Mishri: _*"Aku senantiasa berpegang teguh pada pintu Tuhanku sampai Dia menerima-ku."*(kenal Allah dengan Allah)*_

Inilah makna-dalam dari Dzun-nun : sebuah skema keteguhan hati yang sangat kuat memohon Kemurahan-Nya, yang di dalam Al-Qur’an disimbolkan melalui kisah Nabi Yunus ketika Beliau a.s. tetap teguh kukuh berpegang pada pintu Tuhannya _("laa ilaha illa anta, subhanaka, inni kuntu minadz-dzalimin" —tiada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim)_

... Meski terpenjara di dalam perut ikan, hingga kemudian taubatnya diterima: "Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya darial-gham" (Q.S. Al-Anbiyaa’ [21]:87-88). ”Al-Gham” di ayat tersebut dalam Bahasa Arab merujuk pada suatu kondisi duka nestapa karena suatu kegelapan yang amat sangat : di dalam perut ikan, ditengah hamparan samudera yang luas, dan pada malam hari di mana tiada secercah cahaya pun yang masuk.

Kedua tokoh ini, yang sama-sama dijuluki "Dzun-Nun", adalah para pejalan di pintu nun tersebut. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada pintu keridhaan-Nya meski melalui kehidupan yang gelap gulita, al-gham karena kegelapan yang berlapis-lapis bagaikan tercelup di dalamdawat (nun) berisi tinta hitam pekat : sebuah pintu rahasia penerimaan taubat, yang terhubung langsung pada Kemurahan dan Welas-Asih-Nya — karena dari "tinta" kegelapan itulah Dia berkenan hadir dan "menuliskan" asma-asma-Nya yang tiada berbatas.وَذَا النُّون ِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ  عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَـٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَفَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau.

Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari ‘al-gham’ (duka karena kegelapan yang amat sangat). Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. — Q.S. Al-Anbiyaa' [21]: 87-88

Ajaran Abuya Hamka, dalam kitabnya _Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,_ mengulas sekelumit tentang pokok-pokok ajaran tokoh Sufi yang luar biasa ini.

Dzun-Nun Al-Mishri banyak menambahkan jalan untuk menuju Allah dan memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang konsep _Ma'rifat_ (mengenal Allah).

Apa yang beliau tuju adalah _"mencintai Allah,_ membenci yang banyak dan mencintai yang sedikit _(konsep zuhud anjuran Nabi),_ menuruti garis perintah yang telah diturunkan, dan takut akan terpaling jalan.

"Ketika ditanya apa sesungguhnya hakikat cinta tersebut, Beliau menjawab :

_*"Bahwa engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohonkan ridha-Nya. Engkau tolak apa-apa yang merintangimu dari jalan menuju Dia. Engkau tidak sesekali takut akan kebencian orang yang membencimu. Engkau tidak mementingkan dirimu sendiri dan melihat akan wujud dirimu sendiri, oleh karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya adalah lantaran atas kerana engkau melihat akan "wujudnya" dirimu sendiri."*_

_*"Orang yang arif adalah orang yang bangga dalam kefakirannya. Bila disebutkan asma nama nama Allah, ia bangga kepada-Nya. Bila disebutkan nama dirinya sendiri, ia merasa fakir dan hina."*_

_"Bukanlah orang yang 'berisi' (berpengetahuan) orang yang sungguh-sungguh menuntut dunia, sementara meringankan urusan akhiratnya. Bukan orang yang lekas marah di waktu harus memaafkan, dan takabbur ketika harus tawadhu'. Bukan orang yang kehilangan taqwa karena sifat laba tamaknya, bukan orang yang marah ketika mendengar ia diperkatakan, dan bukan orang yang zuhud pada perkara yang disukainya saja, dan bukan orang yang meminta orang lain mementingkannya._

_Bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya, dan mengingat Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya. Bukan pula orang yang mengumpulkan berbagai ilmu mengenal Tuhan tapi lebih mendahulukan hawa nafsunya. Bukan pula orang yang sedikit malunya di hadapan-Nya padahal Allah tetap menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (yakni syaithan)._

_Bukan orang yang tak sanggup membuatmuru'ah(menjaga martabat dan budi pekerti sehingga tidak janggal atau salah dalam pergaulan) menjadi pakaian, adab menjadi perisai, dantaqwamenjadi perhiasan. Bukan pula orang yang mengambil ilmu pengetahuan hanya untuk berbangga dan menyombongkan diri dalam majelisnya.*_

*Mahabbah Kepada Allah Buat Dari Makrifah*

Tentang "Cinta kepada Allah". Dikisahkan pula, suatu hari Dzun-Nun bertemu dengan seorang Rahib. Beliau bertanya pada Rahib itu, "Apa articintamenurut pendapat tuan?" – sebab seorang sufi besar tiada akan enggan menerima hikmah dari orang lain, meski berbeda agama.

Rahib itu pun menjawab, _"Cinta sejati tak mau dibelah dua. Kalau cinta telah tertumpah pada Allah, tidak ada lagi cinta kepada yang lain. Kalau cinta tertumpah pada yang lain, tidaklah mungkin disatukan cinta itu kepada Allah. Maka atas sebab itu tafakurlah, selidiki dirimu, siapakah yang lebih engkau cintai!"_

Lalu Dzun-Nun meminta pula diterangkan tentang inti sari cinta. Rahib itu menjawab,

_"Akal pergi, air mata jatuh, mata tak mau tidur, rindu dendam memenuhi jiwa, dan kecintaan berbuat sekehendaknya."_

"Setelah itu, kata Dzun-Nun pula, "Kami pun berpisah. Beberapa masa kemudian ketika aku menunaikan haji di Mekkah, kulihat Rahib itu sedang thawaf. Kutemui dia, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari dahulu.

Dia berkata kepadaku, _"Hai Abu‘l Faidh! Janji perdamaian telah ditandatangani, pintu pun telah terbuka, dan Dia telah menganugerahiku jalan memilih Islam. Sebab apa yang kukatakan kepadamu tempo hari adalah kata-kata yang rupanya oleh bumi tak terpikul dan oleh langit tak tertahan, bukit pun tak dapat menanggungnya. Hanya laki-laki yang tabah!"_

Kesimpulan ajaran Beliau adalah sebuah kunci kehidupan di dunia, yakni berjalan pada garis yang ditentukan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan menjadi insan yang takut terpaling dari garis ketentuan itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwat.

Kata Beliau pula, _"Alamat cinta kepada Allah adalah mengikuti langkah Muhammad SAW dalam mencintai-Nya, baik dalam budinya atau perbuatannya, menuruti titahnya dan menghentikan apa-apa yang dilarangnya, dalam garis yang ditentukan-Nya."_

*Taubat dan Ma'rifat.* Taubat menurut Beliau ada dua macam : _"Taubat orang awam, yakni dari dosa ; dan taubat orang khawash(khusus), yaitu dari kelalaian."_

_Ma'rifatpun ada tiga macam. *Ma'rifat mukmin biasa* (awam), *Ma'rifatahli ahli bicara* (mutakallimin) dan hukama (filosuf), dan *Ma'rifat Waliullah* yang dekat kepada Allah dan kenal akan Allah dalam hatinya._

_Ma'rifat para Wali inilah yang setinggi-tinggi martabat. Dalam pembagian ini, jelaslah ketiga jenis ma'rifat itu. Orang mukmin-biasa mengenal Allah karena memang demikianlah ajaran yang diterimanya. Orang filosuf dan mutakallimin mencari Allah dengan perjalanan akalnya (ilmu kalam). Dan oleh perhitungan akal dan manthik, maka sampailah mereka kepadaadanya, tapi belum tentu dirasakan lezatnya (zauk cinta-Nya para Wali Allah)._

_Tapi orang-orang Muqarrabin, mencari Allah dengan pedoman *CINTA ALLAH*. Yang lebih diutamakan adalah *ILHAM*, atau *FAIDH* (limpah kurnia Allah), atau *KASYAF* (dibuka Allah hijab batin dalam alam kerohanian)._

_Di sana, akal tak berjalan lagi, karena sampai di derajat mustawa(bersemayam)._

Pernah ditanyakan orang kepada Beliau, "Dengan jalan apa engkau mengenal Tuhanmu?" Beliau menjawab,

_*"Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku sendiri". Kalau bukan kerna Tuhanku, tidaklah aku mampu untuk mengenal-Nya."*(kenal Allah dengan "bantuan" Allah @ atas kerana kebersihan hati dari kekotoran hati dari sifat tercela lalu Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada kita iaitu didatangkan "kefahaman batin hati tentang Allah, maka dari situlah datangnya buah-buah Cinta & Rindu kepada Allah SWT)_

Itulah tauhid yang semurni-murninya. Beliau pun menambahkan penjelasan tentang
cinta, _yakni suatu cinta timbal balik antara Khalik dengan makhluk, antara yang mencintai dengan yang dicintai._

_Dengan cinta seperti inilah si hamba tertarik, lebih dari tarikan besi berani kepada besi biasa, kian lama kian mendekat kepada yang dicintai itu sehingga akhirnya "bersatu", tenggelamlah zatnya ke dalam zat Tuhannya._

_Ajaran ini hanya dapat dirasakan setelah menempuh tingkatan-tingkatan(maqam pembersihan)tertentu._

Begitulah menurut Beliau, cinta semacam ini hanya dapat dirasakan, dan sia-sia kalau diajarkan – harus dirahasiakan dari orang yang hanya mengenal arti cinta secara maddi (yang disaksikan oleh panca indera).

Pandangan cinta dan pengertian (mahabbah dan ma'rifat) inilah yang meninggalkan jejak yang sangat nyata bagi para tokoh besar tasawuf yang datang kemudian, seperti Tustari (wafat 898 M), Al-Nakhsyabi (wafat 859 M), Ibnu Al-Jalaak dari negeri Syam yang pernah belajar sendiri kepada Beliau, dan Al-Khazzaar (wafat 901 M) salah seorang sahabat Beliau.Wallahu a’lam.

Keterangan : Tulisan ini disarikan dan diperkaya dari buku/kitab _*Tasawuf : Perkembangan dan Pemurniannya*,_ Bab "Dzun-Nun", karya Sufi Prof. Dr. Hamka, 1983

Pembahasan tentang makna “dzun-nun”dan huruf nuna dalah dari Kitaab Tasawuf _*Al-Miim wa Al-Waw, wa Al-Nun*_ karya Sufi Ibnu Arabi.

Ditulis pada: November 1990
Sebaran Cyber : November 2015
Oleh : Watung Arif Budiman.
Edited Whatsapp Version : 2016 (p.m.s®)

No comments:

Post a Comment