Tuesday, 7 April 2015
Mengumpat
KONDISI YANG MEMPERBOLEHKAN GHIBAH (MENGGANJING)
Asal hukum ghibah adalah haram berdasarkan dalil-dalil yang tegas melarangnya, namun demikian Imam Nawawi dan Ulama-ulama lain menuturkan kondisi-kondisi yang memperbolehkan seseorang mengganjing kerana bertujuan yang dilegalkan syara’ yang tidak mungkin dapat dilakukan perbaikan kecuali tanpa melakukakan GHIBAH, kondisi tersebut adalah :
1. TERANIAYA
Diperbolehkan bagi orang yang teraniaya mengadukan penganiayanya pada penguasa, hakim, dan orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk menghentikan penganiayaannya dengan menyebut langsung nama pelakunya, misalnya “Si Anu telah melakukan tindakan ini padaku” atau “Si Anu mengambil seseuatu dariku” dan sebagainya
2. MEROBAH KEMUNGKARAN DAN KEMAKSIATAN PADA KEBENARAN
Dengan menyebut nama pembuat kemaunkaran serta kemaksiatan pada seseorang yang di harapkan mampu merobahnya dengan berkata “Si Anu telah melakukan tindakan ini, maka cegahlah..!!” dengan tujuan menghilangkan kemungkaran bila tidak maka menggunjingnya hukumnya haram.
3. DALAM RANGKA MEMINTA SARAN/NASEHAT
Misalkan seseorang yang mengatakan :
“Ayahku atau Saudaraku atau Si Anu menganiaya diriku,
apa tindakan tersebut berhak ia lakukan ?
Bagaimana caraku keluar dari masalah ini ?
Bagaimana aku dapat memperoleh hak-hakku ?” Dan sebagainya
Yang demkian diperbolehkan karena ada kepentian menggunjingya, namun sebaiknya untuk berhati-hati sebaiknya dalam rangka meminta saran ini tidak dikatakan pelakunya secara lansung semisal dengan pernyataan :
”Bagaimana pendapat anda tentang seorang lelaki yang melakukan semacam ini ?”
” Bagaimana pendapat anda tentang seorang suami atau istri yang melakukan semacam ini ?” dan semacamnya karena tujuan meminta saran dengan perkataan semacam inipun bisa ia dapatkan, meskipun penyebutan pelaku secara langsung juga diperbolehkan berdasarkan hadits dari Hindun ra saat ia meminta saran dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam dengan berkata “Wahai rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan lelaki pelit.. dst” dan Nabi pun tidak melarangnya.
4. MEMBERI PERINGATAN PADA KAUM MUSLIMIN
Menurut Imam Nawawy dalam permasalahan ini terdapat 5 gambaran :
a. Menerangkan/menyebutkan cacatnya nama seseorang dalam sebuah riwayat hadits/saksi, kebolehan ghibah dalam hal ini disepakati ulama dalam rangka kemurnian syariat.
b. Membicarakan seseorang dalam rangka musyawarah semacam hendak mengikat tali perkawinan
c. Saat melihat seseorang yang hendak membeli suatu barang cirri yang tidak ia ketahui, untuk memberi petunjuk padanya bukan dalam rangka menghina atau merusak citra.
d. Saat melihat seseorang yang hendak belajar agama dan ragu atas dua pilihan, agar tidak tersesat pada orang fasik dan ahli bid’ah maka boleh bagimu memberi nasehat padanya.
e. Mengadukan seorang pimpinan pada atasannya atas ketidakprofesionalannya atau kefasikannya agar diketahui dan segera diganti supaya tidak tertipu dan dilanggengkan kepimpinannya.
5. KEKURANGAN YANG TERANG-TERANGAN IA LAKUKAN
Bila seseorang terang-terangan menjalani kefasikan atau kebid’ahannya, maka boleh menyebutkan cela yang secara jelas ia lakukan dan haram menyebutkan lainnya kecuali bila ada hal yang memperbolehkan penyebutan laiinya.
6. PENAMAAN
Boleh menyebutkan kekurangan orang lain bila justru ia lebih dikenal dan diberi julukan dengan kekurangannya seperti “Si Rabun, Si Pincang, Si Jereng, Si Cebol, Si Buta, Si Buntung” dan sebagainya asalkan tidak bertujuan merendahkan kekurangannya dan bila masih memungkinkan penamaan dengan selain kekurangannya tentu lebih utama dan bijaksana.
Wallaahu A’lamu Bis Showaab
Al-Adzkaar Li an-Nawaawy I/340
Dalam sepotong hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim RH (No. 2589), Rasulullah SAW bertanya para sahabat, “Adakah kamu tahu apa makna mengumpat?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah SAW menjelaskan yang bermaksud, “Kamu menyebut sesuatu tentang saudaramu yang ia marah (sekiranya dia mengetahuinya).” Sahabat bertanya, “Sekiranya apa yang saya sebutkan itu benar-benar wujud, adakah dikira mengumpat juga?” Rasulullah SAW menerangkan, “Sekiranya apa yang kamu sebutkan itu benar-benar wujud (berlaku), maka kamu dikira mengumpat. Dan sekiranya apa yang kamu sebut itu tidak benar, maka kamu dikira telah memfitnahnya.”
Takrif Mengumpat
Hadith ini memberi penjelasan yang lengkap tetang mengumpat. Bolehlah disimpulkan bahawa mengumpat ialah perbuatan menyebut sesuatu yang benar-benar wujud (berlaku) tentang seseorang yang sekiranya ia mengetahuinya, ia pasti akan marah. Dalam kitab al-Azkar, Imam al-Nawawi RH menyediakan takrif yang terperinci tentang mengumpat iaitu:-
“Kamu menyebut tentang saudaramu yang ia memarahinya sama ada perkara tersebut berkaitan dengan tubuh badan, agama, dunia, diri, fizikal, akhlak, harta, anak, ayah, pasangan, khadam, hamba, serban, baju, cara berjalan, bergerak, senyuman, masam wajah dan segala-galanya yang berkaitan dengan dirinya, sama ada dengan cara menyebut, menulis, isyarat mata, kepala dan sebagainya.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment