PEREMPUAN DAN HIJAB
Beberapa sufi agung seperti Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi menyatakan perempuan sebagai perwujudan dari rahasia-rahasia Tuhan. Tuhan Maha Mencipta, dan makhluk yang mempunyai daya cipta luar biasa adalah perempuan. Sifat Maha Mencipta Tuhan terekspresi dengan hebat pada diri perempuan. Itu sebabnya leluhur Nusantara menyebutnya dengan istilah “perempuan”, yang berasal dari kata “empu”. Empu bermakna sang pencipta (misalnya empu keris, empu rontal kuno, dll.), Boleh juga bermakna benih utama keberadaan tumbuhan (misalnya empu jahe, empu lengkuas, dll.).
Siapakah yang mengandung dan mengasuh manusia sedemikian banyaknya ini? Tidak lain adalah perempuan. Selain Tuhan Maha Mencipta, Tuhan juga ingin dikenali, dimengerti, dan dipuji. Ada sebuah hadis Qudsi yang mengatakan bahawa jagat raya diciptakan Tuhan kerana Dia ingin dikenali. Demikian pula perempuan, yang ingin dikenali, dimengerti, dan dipuji. Jika engkau, wahai lelaki, belum bisa mengenali, mengerti, dan memuji perempuanmu dengan selayaknya, engkau akan susah mendapatkan apa yang engkau hajati darinya. Bahkan engkau akan susah untuk mengahwininya.
Hasrat perempuan untuk dikenali, dimengerti, dan dipuji ini berlaku umum dari zaman ke zaman. Agar perempuan tetap bisa menjaga rahasia-rahasianya, dan tidak pula banyak membicarakannya, maka ada anjuran baginya untuk menghijab dirinya. Hijab secara etimologis bermakna penghalang atau selubung, yang menirai sang perempuan dari tatapan mata dunia yang lapar dan bernafsu. Perempuan selayaknya bisa menjaga kehormatannya, kemaluannya, keindahannya.
Wali Nusantara Sunan Kalijaga memberikan ciri kedatangan zaman moden, yang ditandai dengan kaum perempuan yang sudah hilang malunya (yen wong wadon wis ilang wirange). Agar perempuan tidak kehilangan malunya, maka ia perlu menghijab dirinya. Hijab ini terutama harus diwujudkan dengan menjaga kesedaran dan jati dirinya sebagai perempuan dengan memiliki akhlak yang mulia, juga dengan berpakaian secara sopan.
Di tanah Arab di masa lalu, hijab ini kemudian diwujudkan dengan pakaian yang menutup tubuh perempuan dari atas sampai ke bawah kecuali muka dan telapak tangan. Perintah untuk memakai hijab dalam berpakaian ini diperintahkan pada isteri-isteri Nabi, sebab mereka adalah isteri-isteri Nabi, penguasa tertinggi spiritual dan pemerintahan pada masa itu, yang sudah seharusnya mampu menjaga kehormatannya di depan umum demi menghindari fitnah yang bukan-bukan.
Ini juga terjadi di Jawa. Permaisuri dan gundik-gundik raja di Majapahit tidak diperkenankan bertelanjang dada di depan umum, yang memperlihatkan payudaranya seperti kalangan perempuan biasa. Adat di Arab jilbab, adat di Jawa cukup menutup dadanya. Itu sahaja. Tidak perlu mengaitkan jilbab dengan halal-haram, wajib-mubah, apalagi dosa-pahala. Tidak ada hubungannya. Tuhan yang sejati tidak akan marah, murka, apalagi menyiksa perempuan yang tidak berjilbab.
Setiap kawasan mempunyai cara dan aturannya yang sendiri. Jika di Arab pakaian sopannya adalah jilbab, maka di Tanah Melayu atau Kepulauan Nusantara cukup menutup dadanya sahaja. Yang perlu difahami, hakikat hijab adalah penghalang atau selubung, yang menirai rahasia-rahasia perempuan dari mata dunia yang lapar dan bernafsu. Yang lebih penting adalah menghijab jiwamu daripada menghijab tubuhmu.
Yang sering kali terjadi saat ini adalah, baik berhijab atau tidak, banyak perempuan yang terus-menerus ingin dikenali dan dipuji, membuka rahasia-rahasianya, malunya, di depan umum. Ada banyak perempuan berhijab di Facebook dan Instagram yang kerjanya setiap waktu adalah memuat naik foto-fotonya yang menurutnya paling cantik, kadang dengan aksi gila-gila yang memungkinkannya tampil lebih menarik.
Mereka ini sama sekali tidak tahu hakikat hijab meski tubuhnya terbungkus rapat. Tubuhnya terhijab, tetapi jiwanya telanjang sama sekali. Inilah makna hadis “Pada akhir zaman nanti akan banyak perempuan yang berpakaian tetapi telanjang.” Barangkali sekarang adalah zaman moden. Hijab tidak bisa dijadikan ukuran baik-buruknya perempuan, waras atau sopannya perempuan.
Setiap orang perlu menjadi dirinya sendiri. Setiap bangsa perlu hidup sesuai jati diri bangsanya sendiri. Tidak ada norma atau budaya sebuah bangsa yang lebih baik atau lebih buruk daripada norma dan budaya bangsa lainya. Semua hanya berbeza mengikut geografi dan budayanya.
Dalam berpakaian, setiap bangsa tentunya punyai kebijaksanaan tersendiri tentang pakaian apa yang sesuai dengan iklim sekaligus bergaya. Pakaian bagi bangsa yang hidup di gurun pasir yang berhawa panas tentunya tidak bisa disamakan dengan pakaian bangsa yang hidup di pergunungan berhawa sejuk. Pemaksaan pada aspek berpakaian jelas merosakkan keseimbangan dan kesempurnaan.
No comments:
Post a Comment