Saturday, 2 May 2015

Yaman

Friday, 24 April 2015

Ada Apa dengan Yaman?





Ada apa dengan Yaman? Sebaiknya kita lihat dulu petanya.

Di peta terlihat bahwa Yaman berbatasan darat dengan Arab Saudi, dan menguasai perairan strategis Bab el Mandab dan teluk Aden, dan bahkan menguasai pulau Socotra yang kini menjadi pangkalan militer AS. Jalur perairan ini sangat penting karena menjadi tempat lewatnya kapal-kapal tanker pembawa minyak dari Teluk Persia ke Eropa (melewati Terusan Suez). AS sangat berambisi mengontrol jalur minyak ini dan di saat yang sama, secara ekonomi Iran pun terancam bila AS sampai menguasai jalur tersebut. Selain itu, meski saat ini produksi minyak Yaman hanya 0,2% dari total produksi minyak dunia, negeri ini menyimpan cadangan minyak yang sangat sangat besar.


Kelompok-kelompok Utama dalam Konflik Yaman:


Ikhwanul Muslimin vs Imam Yahya (Syiah Zaidiyah)

Yaman tadinya berada di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut); sementara Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Italia mengakui pemerintahan Imam Yahya, sementara Inggris menentangnya karena tekad Imam Yahya adalah mengusir Inggris dan menyatukan Yaman.

Inggris (dan Mesir) membacking gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik Arab Yaman.”

Pemerintahan baru ini memperluas gerakan untuk menguasai Yaman selatan (yang dikuasai Inggris), dengan meminta bantuan militer dari Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser yang mengirim 70.000 tentara ke Yaman (1962-1965).

Inggris, yang memusuhi Nasser akibat aksinya menasionalisasi Terusan Suez tahun 1956, menggunakan konflik internal Yaman untuk melemahkan Nasser, dengan bantuan Mossad, CIA, intelijen Arab Saudi, dan SAVAK (intel Iran zaman Syah Pahlevi). Selama tahun 1960-an, AS menyuplai perlengkapan militer Arab Saudi senilai 500 juta Dollar (agar Arab Saudi semakin kuat dan memegang kendali dalam konflik di Yaman). Tahun 1968, Nasser mundur dari Yaman, dan setahun sebelumnya, Inggris juga angkat kaki dari negara itu.

Namun, kelompok pro Naser masih eksis hingga sekarang dan menjadi salah satu aktor utama politik Yaman, yaitu the Nasserite Unionist People’s Organization.



Partai Sosialis vs Ikhwanul Muslimin


Tahun 1967, the National Liberation Front (NLF) yang berhaluan Marxis menguasai Yaman selatan dan membentuk negara independen (Republik Rakyat Demokratik Yaman). Sementara itu, sejak tahun 1978, Republik Arab Yaman dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh.


Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 membuat kedua pemerintahan Yaman yang memang lemah memutuskan memulai negosiasi untuk bersatu. Pada Mei 1990, terbentuklah pemerintahan persatuan dengan nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi wakil presiden. Untuk menundukkan orang-orang sosialis, Saleh bekerja sama dengan anasir Ikhwanul Muslimin (Partai Islah atau Partai Reformasi didirikan 13 Sept 1993. Menurut pendirinya, Syekh Abdullah bin Hasan al-Ahmar, tujuan utama didirikannya partai ini adalah untuk melawan orang-orang sosialis). Saleh harus menggunakan tangan Partai Islah, karena partainya sendiri (the General People’s Congress) terikat perjanjian unifikasi dengan Partai Sosialis.

Namun belakangan, IM dan Sosialis (dan Nasserite) justru bergabung untuk melawan Saleh; mereka membentuk Joint Meeting Parties (JMP).


Rezim Saleh vs Ikhwanul Muslimin

Kekuasaan Ikhwanul Muslimin (IM) di Yaman sangat besar sejak mereka berhasil menggulingkan Imam Yahya. Mereka menguasai separuh institusi pendidikan di Yaman (dan mendapatkan dana yang besar dari Arab Saudi). Tokoh IM juga menjadi pejabat di Dinas Intel dan berperan besar dalam membungkam kelompok kiri dan komunis. Empat menteri penting juga dijabat orang IM (menkeu, mendagri, mendiknas, dan menkeh). Pejabat-pejabat penting di pemerintahan pun banyak yang dipegang tokoh IM.

Pengaruh besar IM ini membuat khawatir Presiden Saleh dan sejak tahun 2001, ia mulai melucuti kekuasaan IM dengan cara merombak sistem pendidikan. Sejak itu konflik antara kedua faksi ini semakin meluas. Bila pada pilpres 1999, IM (Partai Islah/Partai Reformis) mencalonkan Saleh sebagai kandidat presiden, tahun 2006 mereka mendukung lawan Saleh, Faisal Bin Shamlan (namun Saleh tetap menang pilpres).

Rezim Saleh vs Sosialis dan Suku Houthi (Ansarullah)
Meskipun memiliki cadangan minyak yang kaya dan posisi yang sangat strategis, Yaman adalah negara miskin, menghadapi krisis pangan, dan ketidakadilan ekonomi. Berbagai gerakan pemberontakan terhadap Rezim Saleh bermunculan. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu.

Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan senjata oleh Saleh (lagi-lagi dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.


Rezim Saleh – Amerika – Al Qaida – Kelompok Salafi


Tahun 2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis. Al Fadhli dan iparnya, Jenderal Mohsen Al Ahmar, kemudian menjadi tokoh penting dalam pemerintahan Saleh. Mohsen adalah pelindung utama Saleh dalam menghadapi berbagai pemberontakan, termasuk dalam upaya membungkam suku Houthi. Namun bulan madu Saleh-Mohsen mulai buyar sejak tahun 2000, karena kekhawatiran Saleh bila kubu Mohsen kelak akan merebut kekuasaan dari kubu Saleh. Kekuasaan Mohsen kemudian dilucuti satu demi satu. Mohsen pun bersekutu dengan keturunan Husein Al Ahmar (pendiri Partai Islah/Reformis) untuk menggulingkan Saleh.

Di masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP, anehnya, adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. William Engdahl menyebut fakta ini memunculkan kecurigaan bahwa tujuan utama CIA dan Pentagon melakukan teknik brutal kepada tawanan Guantanamo sejak September 2001 adalah untuk mentraining ‘sleeper terrorists’ (teroris tidur) yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan sesuai komando intelijen AS. Di saat yang hampir bersamaan, Presiden Saleh membebaskan 700 narapidana teroris dengan alasan ‘mereka sudah berkelakuan baik’.

Mengingat donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.

Meski Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak.

Atas alasan untuk menumpas Al Qaida pula, pada tahun 2010, Presiden Saleh dan Jenderal Petraeus dari AS bertemu. Petraeus menjanjikan bantuan “dana keamanan” 14 kali lipat lebih besar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar), dan imbalannya, Saleh mengizinkan Pulau Socotra untuk dipenuhi dengan berbagai peralatan militer canggih AS.

Namun, akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman. Pada 21 Maret 2015, ISIS mengebom sebuah masjid di Sanaa (ibu kota Yaman), yang jamaahnya sebagian besar muslim Syiah Zaidiah yang tengah menunaikan sholat Jumat (142 tewas, 351 lainnya terluka).



Era Arab Spring

Melihat track record Presiden Saleh yang selalu berperang dengan rakyatnya sendiri dan kemiskinan yang semakin mencekik rakyat, tentu tidak mengherankan bila pada tahun 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran dirinya. Masifnya gerakan demo di Yaman akhirnya berujung pada tergulingnya Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun, tahun 2012, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh Mansur Hadi. Anak Saleh, Jenderal Ahmed Ali, bahkan tetap memiliki kekuasaan penting di militer. Dalam situasi ini, Al Qaida melakukan aksi-aksi pengeboman, termasuk mengebom istana kepresidenan, menambah kacau situasi di Yaman.

Singkat kata, pasca keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk suku Houthi (gerakan Ansarullah). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi.

Gerakan Ansarullah bahkan berhasil menggalang demo besar-besaran (rakyat umum, tidak sebatas suku Houthi) sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM dan dilakukannya reformasi politik. Menyusul aksi demo ini, Perdana Menteri Salim Basindwa mundur dari jabatannya dan Presiden Mansur Hadi bersedia menandatangani perjanjian dengan Ansarullah, yang isinya Mansur bersedia membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan Ansarullah dan semua partai politik yang ada. Perjanjian ini menandai semakin meluasnya pengaruh Ansarullah (Syiah Houthi) di pusat kekuasaan Yaman. Namun kemudian, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi dan meminta bantuan militer dari Saudi. Sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu negara-negara Teluk dan Israel, serta didukung oleh AS membombardir Yaman.

Kesimpulan saya, suku Houthi (Ansarullah) hanyalah satu dari sekian banyak aktor yang terlibat konflik di Yaman dan awalnya tidak dominan. Yaman sejak awal telah dilanda konflik internal yang ruwet, melibatkan sangat banyak suku, ‘aliran agama’, kelompok bisnis, dan dinasti/keluarga (yang saya tulis di atas hanya ringkasan saja). Namun, kesolidan dan strategi Ansarullah dalam membangkitkan kekuatan rakyat tertindas rupanya berhasil membawa mereka naik ke permukaan melawan dominasi elit yang berkuasa selama 37 tahun terakhir. Dan ‘gara-gara’ kelompok ini bermazhab Syiah, dengan segera isu yang dimainkan adalah isu mazhab.

Namun yang perlu dicatat, lihat lagi peta di awal tulisan ini, potensi ekonomi dan geopolitik yang sangat besarlah yang menjadi pivotal factor bagi negara-negara kuat untuk menggelontorkan dana sangat besar untuk membiayai faksi-faksi yang berseteru di Yaman.

Aktor asing terkuat di Yaman, tentu saja AS, yang sejak 2001 menggelontorkan ratusan juta dollar (triliunan rupiah) untuk rezim Saleh. AS juga menginvestasi dana dan perlengkapan militer tercanggihnya di Pulau Socotra. Di saat yang sama, AS meraup untung besar dari perdagangan senjata ke negara-negara Arab dan Teluk. Kemudian ketika pemerintahan boneka terbentuk, perusahaan-perusahaan AS pula yang dipastikan akan mendapatkan berbagai kontrak infrastruktur dan minyak (seperti yang terjadi di Libya dan Irak).

No comments:

Post a Comment