*BOLEHKAH KITA MELIHAT ZAT ALLAH?*
Sebenarnya tema persoalan tentang boleh ke tidak melihat ZAT Allah itu telahpun banyak dikupaskan dan diperbincangkan dengan begitu panjang lebar oleh para tokoh ilmuan dan ulama serta telah banyak dibukukan pandangan-pandangan tersebut. Sejak di zaman Nabi saw lagi, isu sedemikian telah mencetuskan suatu polimik yang memihakkan dua golongan pendapat, satu pihak yang diwakili oleh Ummul Mukminin Siti Aisyah yang menentang hebat bahwa ZAT Allah itu tidak boleh dilihat kecuali nanti di dalam akhirat yakni suatu tempat yang bernama syurga. Ummul Mukminin Aisyah berpegang kuat kepada satu dalil al-Qur’an daripada Surah al-An’am: 103. Satu pihak yang lain pula tetap menyokong Sayyidina Ibnu Abbas RA dengan kenyataan hadis-hadis yang sahih bahwa Nabi saw memang telah melihat ZAT Allah di peristiwa malam israk mikraj itu, malah bukan hanya melalui pandangan mata hati Baginda tetapi meliputi pandangan mata kepala Baginda sendiri.
Siapakah Sayyidina Ibnu Abbas RA? Beliau adalah sahabat terdekat, murid dan sepupu kepada Nabi saw yang bapanya bernama Abbas bin Abdul Muttalib. Semasa remajanya beliau banyak belajar langsung dari Nabi saw, terutamanya ilmu tentang ayat-ayat al-Qur’an. Pada suatu ketika di masa remajanya, Nabi saw pernah menyuruhnya membuka ruang mulutnya, lalu Nabi saw meludah ke dalam mulutnya itu. Sejak dari itu, Sayyidina Ibnu Abbas RA dikatakan sebagai salah seorang sahabat yang sangat luarbiasa dan dikagumi, yang boleh menerangkan tentang rahsia-rahsia dari al-Quran yang kebanyakan para sahabat lain sendiri tidak sampai pengetahuannya. Sayyidina Umar al-Khattab selalu merujuk kepada Sayyidina Ibnu Abbas tentang sesuatu ayat al-Quran yang sulit difahami secara biasa. Pada suatu hari Sayyidina Umar al-Khattab dengan sengaja membawa Sayyidina Ibnu Abbas di hadapan sahabat-sahabat yang lain lalu meminta sahabat-sahabat yang lain itu menghuraikan maksud satu surah. Para sahabat memberikan pendapat dan keterangan yang berbeda-beda. Kemudian semua pendapat para sahabat itu disanggah oleh Sayyidina Umar al-Khattab lalu menganjurkan supaya para sahabat mendengar sendiri apa yang akan diperjelaskan oleh Sayyidina Ibnu Abbas RA. Setelah mendengar penjelasan daripada Sayyidina Ibnu Abbas RA, barulah semua sahabat tersedar dan terkejut bahwa apa yang dimaksudkan dalam satu surah al-Qur’an itu menunjukkan petanda bahwa Nabi saw tidak lama lagi akan wafat.
Kaum mazhab Muktazilah dan mazhab Asyaariah tidak menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ibnu Abbas RA kecuali mereka yang terdiri daripada golongan Salafus Soleh yang termasuk kaum Sufi, terutamanya dari hadis-hadis yang berkaitan dengan Nabi saw telah melihat ZAT Allah. Kaum mazhab Muktazilah ini meletakkan akal fikiran mengatasi kitab suci al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw. Manakala kaum mazhab Asyaariyah, pendiri utamanya adalah seorang tokoh yang mulanya berasal dari mazhab Muktazilah, disebabkan adanya pergeseran pendapat maka beliau keluar dari Muktazilah lalu bergabung pula dengan seorang tokoh bernama Imam Mansur al-Maturidi dan kemudian mendirikan mazhabnya yang sendiri bernama Asyaariyah yang berdasarkan kepada nama benarnya Imam Abu Hasan al-Asyaari. Tokoh al-Asyaariyah ini oleh kerana banyak menguasai teologi filsafat Yunani, lalu menyusun satu metodologi ilmu tauhid atau disebut ilmu kalam yang diasaskan dari teologi filsafat Yunani dinamakannya pula sebagai ilmu Sifat 20 untuk menjelaskan bahwa ZAT Allah itu mempunyai 20 sifat dengan tujuan untuk dijadikan bahan serangan perbahasan kepada kaum Muktazilah yang banyak berhujat dengan akal dan filsafat. Yang aneh, kaum Asyaariyah mendakwa bahwa mereka sahajalah yang tergolong sebagai Ahlussunnah Wal jamaah, maka barangsiapa yang berbeda pendapat dengannya tidak dikira sebagai Ahlulsunnah Wal Jemaah. Kaum Asyaariyah ini mengajarkan bahwa ZAT Allah itu sangat-sangat memerlukan Sifat, jika tanpa Sifat maka ZAT Allah itu tidak aktif, tidak ada kualiti dan tidak dapat menzahirkan penciptaanNya. Misalnya ZAT Allah itu memerlukan Sifat Bashar untuk melihat, memerlukan Sifat Kalam untuk berkata-kata, memerlukan Sifat Sama’ untuk mendengar dan begitulah seterusnya. Bagi kaum Asyaariyah antara ZAT Allah dan Sifat Allah itu adalah dua perkara yang jauh berbeda, berasingan (terpisah), dan masing-masingnya tersendiri. Dan menurut pegangannya lagi, Wujud itu bukan satu tetapi terbahagi dua; satu wujud Tuhan dan satu lagi wujud makhluk. Justeru itu, kaum Asyaariyah ini berpegang kepada konsep tauhid dualisme.
Lantaran demikian, kaum Sufilah yang bangkit untuk menentang konsep tauhid kaum Asyaariah itu yang pada intinya berlandaskan kepada corak teologi filsafat Yunani untuk mengemukakan bahwa ZAT Allah itu hanya memiliki 20 sifat yang wajib dan tidak lebih, antara ZAT dan Sifat saling berbeda hakikatnya. Kaum Sufi telah menghujahkan bahwa apa yang difahami sebagai Sifat Allah, sebenarnya itulah juga ZAT Allah. Allah melihat dengan ZATNya, berkata-kata dengan ZATNya, mendengar dengan ZATNya dan sebagaimana seterusnya. Menurut kaum Sufi bahwa ZAT Allah itu sentiasa aktif, sentiasa sibuk mezahirkan sesuatu, jika ZAT Allah itu tidak ada kualiti, maka bagaimanakah ZAT Allah itu dapat mezahirkan Keperkasaan dan KeindahanNya yang mutlak?
Dari tadi ditegaskan bahwa kaum Asyaariyah ini memang menolak semua hadis-hadis yang diriwayatkan Sayyidina Ibnu Abbas RA, padahal banyak ulama hadis berpendapat bahwa hadis-hadis riwayat Sayyidina Ibnu Abbas RA kebanyakan martabatnya adalah sahih dan dikumpulkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Seperti hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi saw telah bersaba; “Aku melihat Allah pada wajah seorang pemuda yang tampan dan berjanggut.” Kebanyakan ulama-ulama sufi seperti di antaranya Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan para Salafus Soleh yang lainnya seperti Ibnu Taimiyah yang pada mulanya banyak mengkritik ahli sufi dan tasawuf tetapi kemudiannya berpihak kepada tasawuf dan beliau sendiri adalah termasuk kaum sufi, mempertahankan hadis tersebut adalah sahih riwayat Bukhari dan Muslim, tetapi kaum Asyaariyah mengatakan itu hadis palsu! Kaum Salafus Soleh yang mempertahankan bahwa Nabi saw telah melihat Allah pada wajah seorang pemuda yang tampan dan berjanggut, mereka mengambil prinsip tidak mentakwilkan hadis tersebut dan terus percaya sahaja kepada matan kebenarannya.
Apa yang menghairankan juga pada sikap kaum Asyaariyah ini, ternyata di dalam kitab suci al-Qur’an Surah Thaha: 10 -14, dimana terdapat sebuah kisah yang menceritakan ketika Nabi Musa semasa perjalanannya di hutan rimba lalu terlihat api, Nabi Musa pun berkata kepada isterinya yang berada di sampingnya itu, “Berhentilah! Sesungguhnya aku ada melihat api semoga aku dapat membawakan untukmu satu cucuhan daripadanya atau aku pergi mendapatkannya di tempat api itu.” Pada ketika itu memang Nabi Musa sangat memerlukan api di dalam hutan rimba yang dingin dan gelap itu. Kemudian apabila Nabi Musa tiba di tempat api itu yang disangkakan semata-matanya api, tiba-tiba terdengar olehnya seruan dari api itu berkata-kata, “Wahai Musa! Sesungguhnya AKU ini Tuhanmu! Maka bukalah kasutmu kerana engkau sekarang berada di Lembah Thuwa yang suci. Dan AKU telah memilihmu menjadi Rasul, maka dengarlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya AKUlah Allah; tiada yang wujud melainkan AKU, demi itu beribadahlah kepadaKu dengan mendirikan solat untuk mengingati AKU!”
Nah, dengan penegasan firmanNya itu apakah menjadi halangan untuk ZAT Allah ingin memperlihatlan kewujudanNya pada sisi yang lain iaitu api? Mengapakah kaum Asyaariyah tidak menolak kenyataan yang diceritakan di dalam kitab suci al-Quran tersebut lalu menafikan pula kebenaran Nabi saw yang melihat Allah pada sisi wajah seorang pemuda yang tampan dan berjanggut? Sedangkan darjat Nabi saw itu lebih mulia daripada darjat Nabi Musa.
Kaum Asyaariyah dan juga kaum Muktazilah terlalu berpegang kuat kepada prinsip bahwa melihat ZAT Allah itu suatu perkara mustahil atas dalil yang mereka pegang di dalam kitab suci al-Qur’an Surah al-‘Araf: 143 bahwa pada suatu waktu yang tertentu Nabi Musa telah bermohon kepada Allah agar memperlihatkan ZATNya supaya Nabi Musa dapat melihat RabbNya, maka permintaan Nabi Musa itu telah disanggah oleh firmanNya, “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihatKu, (kerana AKU bukan berada di dalam alam ini dan juga bukan berada di luar alam ini). Tetapi pandanglah kepada gunung itu, maka jika gunung itu tetap berada di tempatnya, nescaya engkau akan dapat melihatKu. Setelah Allah bertajallikan cahayaNya kepada gunung itu, tiba-tiba gunung itu hancur lebur dan Nabi Musa pun jatuh pengsan.
Dengan itu kaum Asyaariyah dan kaum Muktazilah menegaskan prinsipnya, sedangkan Nabi Musa tidak mampu untuk melihat tajalli Tuhan dan gunung lagikan hancur lebur, kini masakan Nabi Muhammad saw melihat ZAT Allah di malam israk mikraj? Dan dengan itu juga mereka menolak hadis-hadis riwayat Sayyidina Ibnu Abbas RA sebagai hadis palsu dan bahwa sebenarnya Nabi saw bukan melihat Rabbnya di malam israk mikraj itu, sebaliknya apa yang dilihat oleh Nabi saw itu adalah malaikat Jibril yang bersamanya pada ketika perjalanan israk mikraj.
Apakah pula pandangan kaum Sufi terhadap prinsip kaum Asyaariyah dan kaum Muktazilah itu? Maka kaum Sufi telah menjelaskan bahwa kedudukan kisah di antara Nabi Musa dan Nabi Muhammad saw itu tidak boleh dipersamakan matannya. Nabi Musa ingin melihat ZAT Allah atas permohonannya sendiri dan caranya sendiri sebagai seorang makhluk yang mempunyai sepasang bola mata untuk melihat. Sedangkan Nabi Muhammad saw tidak sekali-kali pernah bermohon kepada Allah untuk melihat ZAT Allah. Maka adapun yang diperlihatkan kepada Nabi saw akan Keagungan ZAT Allah itu adalah atas kehendak Allah sendiri yang mahu membukakan hijabNya kepada Nabi saw. Bagitupun perjalanan israk mikraj Nabi saw itu bukan atas kemahuan atau usaha Baginda, tetapi Baginda telah diundang oleh Alllah Subhanahu Wa Ta’ala dan dijemput oleh Malaikat Jibril pada malam itu. Sedangkan Nabi Musa tidak pernah dipelawa oleh Allah untuk melihat ZATNya. Dengan itu Nabi Musa belum cukup bersedia untuk melihat ZAT Allah, sedangkan Nabi Muhammad telah Allah perhiaskan kepada Baginda segala persediaan yang cukup sempurna dan rapi untuk melihat ZATNya. Maka segala daya usaha untuk mencapaikan cita-cita seseorang supaya dapat melihat ZAT Allah, barang tentunya mustahil kecuali hal itu datangnya daripada anugerah Allah sendiri kepada hamba-hambaNya yang terpilih untuk melihat ZATNya. Maka apakah menjadi sesuatu halangan dan mustahil bagi Allah untuk melakukan apa sahaja keinginanNya?
Kaum Asyaariyah beralasan sedangkan gunung Thursina lagikan hancur-lebur apabila Allah bertajallikan cahaya kewujudanNya kerana menurut hukum akal itu juga suatu perkara mustahil, tetapi bagaimanakah pula ketika Nabi Ibrahim dihumbankan ke dalam unggun api oleh Namrud, maka api itu tidak pula membakar jasad Nabi Ibrahim malah memberikan pula rasa kesejukan? Api yang memberikan kesejukan dan bukan kehangatan yang membakar, apakah itu mustahil bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk melaksanakannya? Ternyata melalui kisah Nabi Ibrahim itu, dapat memberikan jawaban bahwa bukan api itu yang berkudrat lalu bertindak sebagai sebab dan akibatnya kecuali Allah jua. Ketika keadaan gunung Thursina itu hancur lebur, bagaimanakah ia hancur? Apakah gunung itu mempunyai kuasa dan kehendaknya sendiri untuk menjadi hancur dan lebur? Atau Allah sendiri yang menghancurkannya?
Kaum Sufi tidak membedakan pengertian antara ZAT dan Sifat. Bagi mereka setiap wujud lahiriyah itu terdapat juga wujud batiniyahnya. Maka apabila kita terpandang kepada sesuatu tajalli dan kebesaran ciptaan Allah, itu bererti kita telah telus memandang kepada Af’alNya, memandang telus kepada Af’alNya bererti juga telah telus memandang kepada Nama dan Sifat Allah yang beragam itu, memandang telus kepada Nama dan Sifat Allah bererti telah telus memandang kepada ZAT Allah. Nama, Af’al dan Sifat itu bukan lain dari ZAT dan terpisah dari ZAT. Hanya kita sebagai makhluk tidak sedar bahwa kita sebenarnya telah sentiasa memandang kepada ZAT Allah itu kemana pun kita berpaling dan menoleh!
BOLEHKAH KITA MELIHAT ALLAH ?
Boleh atau tidak adalah bergantung kepada “PERSEPSI” cara mana kita mentafsirkan soalan di atas. Persepsi itu pula, boleh jadi boleh, boleh jadi tidak boleh atau boleh jadi tidak boleh dipersepsikan langsung !
Soalnya, yang mana satu yang melihat? Mata atau penglihatan?
Kalau kita melihat dengan mata, kenapa orang buta, ada mata, malah besar, bulat lagi celik, tetapi masih tidak dapat melihat? Kalau kita melihat dengan mata, kenapa bila kita pejam mata, kita masih nampak gambaran rupa sesuatu? Cuba kita tutup mata, bukankah kita masih nampak rupa ibu kita? Bukankah kita masih nampak wajah anak kita? Bukankah kita masih nampak rupa kereta, rupa duit, rupa artis, rupa buku dan rupa segala? Orang buta sekalipun masih boleh melihat dan nampak “gelap” atau “hitam” atau “kelam” meskipun dia tiada kedua biji mata. Ini bermakna kita bukan melihat dengan mata !
Orang buta bukan tidak boleh melihat kerana tidak ada mata, tetapi orang buta tidak boleh melihat kerana tidak ada “Penglihatan”, maka ternyata yang melihat itu bukan mata tetapi yang melihat itu penglihatan. Penglihatan bukan mata dan mata bukan penglihatan tetapi saling nyata-menyata, namun tidak sama. Umpama api dengan panas, umpama garam dengan masin, umpama kaca dengan gelas. Masing-masing berpisah tidak, bercantum pun tidak, tetapi saling nyata-menyata di antara satu dengan yang lainnya. Api menyatakan panas, panas menyatakan api, tanpa api bagaimana nak mengenal panas, tanpa panas tidaklah api dikatakan api (tiada).
Begitu juga perumpamaan antara mata dengan penglihatan. Mata menyatakan penglihatan (menyatakan perihal yang dilihat) dan penglihatan menyatakan mata (menyatakan perihal yang melihat), tanpa mata bagaimana nak mengenal penglihatan (mengenal apa yang dilihat) dan tanpa penglihatan bagaimana nak mengenal mata. Namun sebelum mata boleh mengenal penglihatan dan sebelum penglihatan boleh mengenal mata, perlu ada satu syarat. Syarat itu ialah, perlu ada CAHAYA . Bila ada cahaya baru ada penglihatan dan penglihatan itulah yang dizahirkan kepada mata. Bila ada cahaya, barulah orang buta yang tidak ada dua biji mata sekalipun masih boleh melihat, meskipun yang dilihat itu cuma hitam, atau gelap atau kelam. Cahaya itulah yang menampakkan yang hitam, yang gelap dan yang kelam.
Bila ada cahaya barulah kita boleh melihat rupa ibu kita, rupa isteri kita, rupa anak kita. Bila ada cahaya barulah kita nampak mimpi-mimpi kita tatkala tidur, meskipun mata tertutup rapat. Cahaya inilah yang diumpamakan sebagai “Roh”. Tanpa roh bermakna mati, bila mati tiadalah penglihatan, hancurlah mata.
Mata itu perkara yang TERSURAT (zahir). Penglihatan itu perkara yang TERSIRAT (batin). Manakala Cahayaitu perkara yang Tersirat di dalam Tersirat.
Zahir (mata) itu boleh dilihat, tetapi perlukan batin (penglihatan) untuk melihat dan batin itu perlukan diri batin(roh) untuk menampakkan. Tanpa diri batin (roh), maka segalanya tidak berfungsi. Mati !
Justeru itu, untuk melihat yang zahir, perlu ada yang batin dan untuk melihat yang batin perlu terlebih dahulu mengenal diri yang batin. Hanya yang batin boleh melihat yang batin dan hanya yang batin juga boleh mengenal hakikat diri yang batin.
Justeru itu, untuk melihat yang zahir, perlu ada yang batin dan untuk melihat yang batin perlu terlebih dahulu mengenal diri yang batin. Hanya yang batin boleh melihat yang batin dan hanya yang batin juga boleh mengenal hakikat diri yang batin.
Mata tidak boleh melihat mata, kerana hal “melihat” (penglihatan) itu adalah hal batin. Bila yang melihat itu hal batin, maka yang nampak juga adalah hal batin. Bila mata (zahir) melihat mata (zahir), apa yang nampak? Kosong! Tidak nampak apa-apa! Kenapa kosong dan tidak nampak apa-apa? Nak nampak apa sedangkan nak melihat diri mata sendiripun tidak boleh dan tak tahu caranya.
Mana mungkin secara zahir, mata kita boleh melihat mata kita sendiri?, melainkan jika kita gunakan perantaraan cermin atau air, atau kamera atau apa saja perantaraan. Jika kita guna cermin, baru kita nampak penzahiran mata kita di atas cermin. Penzahiran mata dalam wajah di atas cermin itulah hal kita, hal makhluk yang mati yang tak mampu untuk melakukan segala sesuatu wa’imah untuk mengelipkan mata sekalipun. Penzahiran wajah dicermin itu hanya menerima dan mengikut perlakuan tuan yang empunya diri yang memegang cermin itu.
Wajah pemegang cermin di atas cermin itu nampak macam nyata, tapi hakikatnya ia tidak nyata. Ia hanya penzahiran atau pembalikan wajah si pemegang cermin yang dinampakkan oleh penglihatan ke atas cermin kepada mata.
Hal batin itu boleh “dikiaskan”atau “dizahirkan” untuk dinampakkan secara zahir melalui mata. Tujuan kiasan atau penzahiran itu adalah untuk mengenal diri batin. Bila diri batin itu telah dikenal, maka nyatakanlah diri batin itu dalam setiap sesuatu yang kita lakukan, baik zahir atau batin.
Contohnya begini.
Cuba kita pandang pada sebatang pokok. Mata (zahir) yang memandang itu dapat melihat pokok kerana adanya penglihatan (batin). Pokok yang dipandang itu dinampakkan oleh penglihatan pada mata kerana ada cahaya (diri batih/roh). Pokok yang “dizahirkan” pada mata itu nampak macam nyata (ada) namun hakikatnya pokok itu tidak nyata! (tidak ada).
Kenapa tidak ada? Sekarang kita pegang pokok yang dinampakkan oleh penglihatan itu. Apa yang kita pegang? Kalau yang dipegang itu daun, itu bukan pokok, itu daun kepada pokok. Kalau yang dipegang itu ranting, itu bukan pokok, itu ranting kepada pokok. Kalau yang dipegang itu akar, itu bukan pokok, itu akar kepada pokok. Begitu juga dengan buah, bunga, dahan, putik dan sebagainya. Semua itu bukan pokok tetapi adalah buah, bunga, dahan, putik kepada pokok.
Maka yang mana satu pokok? Pokok tiada! kosong! dan tidak nampak! Setiap kali kita ingin menunjukkan diri pokok, tunjuk kita itu akan menunjukkan diri yang lain. Ingin menunjukkan pokok, tetapi yang ditunjuk itu daun. Ingin menunjuk pokok, tapi yang ditunjuk itu dahan. Ingin menunjuk pokok, tapi yang ditunjuk itu buah. Seolah-olah pokok itu hilang bila setiap kali ditunjuk.
Yang ada cuma Nama yang bergelar “pokok”. Pokok itu dinamakan pokok hanya untuk memudahkan kita mengenal akan hal benda yang dizahirkan oleh mata. Bila ada nama baru mudah untuk kita kenal dan baru mudah untuk kita bercakap tentang perkara yang kita lihat. Namun, jika pokok tiada, kosong dan tidak nampak, apa pula yang dinampakkan oleh mata itu kalau bukan pokok? Nampak zahir ada pokok, tapi hakikatnya tiada pokok. Ilmu apa ini, nampak macam ada tapi tiada?
Tiada bukan bermakna tidak wujud. Kalau tidak wujud maka pokok itu tidaklah kita nampak. Kalau tidak nampak, macam mana pula kita tahu itu pokok? Tentulah bila kita nampak, baru kita kenal itu pokok.
Tiada di sini bermaksud tidak nampak, tidak nampak bukan bermaksud buta. Tidak nampak kerana dek terlalu hampirnya penglihatan dengan mata. Umpama kita melihat kuku di jari telunjuk, dari jauh kita boleh melihat kuku, tapi bila jari didekatkan hampir bersentuh mata, kita langsung tak nampak kuku. Kuku tetap ada, tapi kita tiada penglihatan untuk melihat kuku yang teramat dekat dengan mata itu. Dek kerana terlalu dekat itulah, mata tidak nampak akan kuku.
Inilah hakikat pokok. Yang kita nampak itu cuma satu pokok, tetapi dari diri pokok yang satu itulah ia menunjuk dan menyatakan banyak diri-diri yang lain. Dari diri pokok yang satu itulah kita nampak daun. Dari diri pokok yang satu itulah kita nampak dahan. Dari diri pokok yang satu itulah kita nampak buah, nampak ranting, nampak bunga, nampak akar, nampak hijau, nampak tinggi, nampak bentuk, nampak burung, nampak gerak angin, nampak embun, bahkan nampak hantu sekalipun!!
Sebaliknya, tiap-tiap diri yang satu itu, samada daun, dahan, buah, ranting, bunga, akar, hijau, tinggi, bentuk, burung, gerak angin dan hantu itupun menyatakan tentang diri pokok yang satu itu juga.
Yang satu menyatakan yang banyak dan yang banyak menyatakan yang satu. Saling nyata-menyata tetapi tidak sama. Pokok bukan daun dan daun bukan pokok, tetapi dari pokok itulah daun menyatakan dirinya dan dari daun itulah pokok menyatakan dirinya. Daun juga banyak, tetapi bilangan daun yang banyak itu tetap menunjukkan setiap diri-diri daun yang satu.
Umpama bila kita membilang jari yang ada pada tangan kanan. Nampak ada 5 jari (banyak) tetapi yang 5 jari itu menunjukkan diri ibu jari yang satu. Yang 5 jari itu, menampakkan jari telunjuk yang satu, nampak jari hantu yang satu, nampak jari manis yang satu, nampak jari kelingking yang satu. Yang nampak pada bilangan ada 5 jari, tetapi tetap menunjukkan diri-diri jari lain yang satu. 5 jari pun betul, 1 jari pun betul. 5 menunjukkan yang 1, yang 1 menunjukkan yang 5. Saling nyata menyata tetapi tidak sama. 5 bukan 1, dan 1 bukan 5, tetapi kesemuanya Jari.
Hakikatnya, pokok itu perkara batin. Perkara batin tidak boleh dilihat oleh mata zahir. Hanya “mata batin” boleh melihat perkara batin. Hal batin tidak dapat diperjelaskan oleh kata-kata. Hal batin adalah bahasa rasa, bukan bahasa kata-kata.
Begitulah perumpamaannya bila cuba menjawap soalan, Bolehkah kita melihat Allah ?
Mata itu dikiaskan sebagai hal zahir. Melihat (penglihatan) dikiaskan sebagai hal batin. Roh itu dikiaskan sebagai diri batin. Allah itu dikiaskan sebagai hakikat batin. Yang zahir tidak boleh melihat yang batin. Hanya yang batin dapat melihat yang batin. Untuk melihat yang batin, matikanlah hal-hal zahir (makhluk). Pulangkan segala sesuatu yang bernama (nama), pulangkan sesuatu yang berbuat (perbuatan), pulangkan sesuatu yang bersifat (sifat)dan pulangkan sesuatu yang berzat (zat) kepada pemilikNya. Bila segalanya telah dipulangkan, akan matilah perihal zahir (makhluk), mati nama, mati perbuatan, mati sifat, mati zat. Bila mati yang zahir, akan hidup dan nampaklah yang batin. Bila nampak yang batin, kelu lidah untuk berkata-kata, kerana tiada kata yang mampu untuk menggambarkan akan apa yang nampak.
Batin adalah bahasa rasa bukan bahasa kata-kata !
Maka, bolehkah kita melihat Allah ?
Lihat lah !!
No comments:
Post a Comment