Setelah beberapa hari
mengikuti perkembangan di Mesir, akhirnya saya memutuskan menulis tulisan ini.
Dorongan itu muncul ketika banyak kalangan pro dan kontra beradu opini di
berbagai media. Suatu fenomena lumrah di era keterbukaan.
Namun sayangnya ada
beberapa gelintir individu maupun kelompok justru kebablasan – atau sengaja
kebablasan – dalam menyajikan opini. Beberapa diantaranya cenderung melakukan
serangan yang sayangnya absurd dan tak berdasar bahkan jauh dari faktual. Sebut
saja saudara kita Zuhairi Misrawi, analis politik Timur Tengah dan politisi
muda yang mengaku memperjuangkan prinsip demokrasi yang secara serampangan
berkicau soal konflik di Mesir dalam akun twitternya.
Ada juga kandidat Doktor Hubungan
Internasional Universitas Padjadjaran Dina Y Sulaeman dalam artikelnya Pemetaan Konflik Mesir yang dimuat oleh indonesia.irib. Salah satu tokoh yang diduga kuat berafiliasi
ke Syiah tersebut latah dengan artikelnya dengan membeberkan beberapa fakta dan
mitos yang juga jauh dari faktual.
Yang lebih menyakitkan
lagi adalah salah satu anggota kelompok pergerakan Islam yang cukup bertaji di
negeri ini justru ‘mensyukuri’ kejatuhan Mursi. Dalam sebuah diskusi kecil,
beliau menganggap bahwa demokrasilah biang dari hukuman Allah kepada Mursi dan
pengikutnya. Sebab demokrasilah yang memaksa manusia berhukum pada hukum selain
Hukum Allah. Dan sebagai akibatnya, adzab Allah turun atas mereka. Saya
berharap ini hanya opini individu saja sebagai oknum dari organisasi yang
menaunginya. Walau dalam beberapa kasus ada BBM yang beradar soal ini yang
mengatasnamakan organisasi tersebut.
Ini hanya kasus dalam
lingkup Indonesia saja. Tak terhitung tokoh Islam dan non Islam yang secara
terang-terangan mendukung kudeta di Mesir. Sebut saja Raja Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, Kuwait, bahkan tokoh sentral Mesir sekelas syaikh di Universitas
Al-Azhar Ahmad Thayyib.
Saya sendiri
sebetulnya tak terlalu terkejut dengan kejadian-kejadian di atas. Sebab inilah
hasil gemilang sebuah ‘Grand Design’ yang sudah dipersiapkan sejak ratusan
tahun lalu. Sebuah upaya pelemahan dalam rangka penguasaan untuk memudahkan
jalan menuju “Tatanan Dunia Baru” dengan Palestina sebagai pusatnya. Inilah
amanat Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagai mana tercantum dalam Taurat yang
disempurnakan oleh Talmud.
Usaha tersebut dimulai
pada tahun 1880-an, tokoh-tokoh Yahudi Rusia mendirikan organisasi yang bernama
Hibbat Zion. Kebanyakan Yahudi Rusia terkemuka ikut bergabung dalam organisasi
ini. Nama penting yang ikut bergabung dengan Hibbat Zion adalah Leon Pinsker.
Pada tahun 1882, Pinsker menerbitkan buku Auto-Emansipation. Dalam buku tersebut
ia menyatakan bahwa Yahudi harus memiliki negara sendiri, dan untuk itu para
pemimpin Yahudi harus berkumpul untuk membahasnya. Maka pada tahun 1884,
Pinsker memimpin konferensi pertama di Kanovitz, Polandia. Konferensi kedua
dilaksanakan pada tahun 1887 di Druskieniki. Dalam konferensi ini disepakati
untuk menyebut gerakan sebagai Hovevei Zion. Dan Pinsker kembali terpilih untuk
memimpin gerakan.
Konferensi-konferensi
berikutnya segera menyusul. Dan sebagai puncaknya, pada tahun 1897,
diselenggarakan Konferensi Zionisme Pertama di Basel, Swiss, di bawah pimpinan
Theodore Hertzl seorang yahudi Austria.
Kongres ini sebagai
tindak lanjut dari doktrin-doktrin politik Theodore Herzl yang dituangkan dalam
bukunya Der Judenstaat.
Prestasi dari kongres
ini adalah sebuah kredo formal yang merupakan azas Nasionalisme Zionis atau
Negara Israel itu sendiri yang berbunyi, ”Bahwa tujuan utama dari zionisme
adalah untuk menciptakan rumah bagi bangsa yahudi di Palestina yang terjamin
dengan perundang-undangan.”
Langkah pertama yang
dilakukan oleh Herzl adalah mendirikan organisasi zionis yaitu The Jewish
Colonial Trust (1898), The Colonisation Commision (1898), The Jewish National
Fund (1901), dan The Palestine Land Development Company (1908).
Selain itu, dihasilkan
pula poin-poin penting sebagai langkah jangka panjang yang termuat dalam
Protokol Para Tetua Zion atau yang sering disebut Protokol Zion. Yang merupakan
paparan dari 25 langkah menguasai dunia hasil dari pertemuan Sir Meyer Amschel
Rotshchild dengan 12 tokoh yahudi internasional pada tahun 1773 di kediamannya
di Judenstrasse, Bavaria. Protokol ini merupakan panduan kerja secara umum
semacam AD/ART.
Dalam protokol inilah
semua langkah-langkah kerja dirumuskan. Mulai dari menguasai pemimpin sebuah
negara, menciptakan makar, adu domba, sampai ke penguasaan media massa.
Langkah selanjutnya
membujuk Sultan Abdul Hamid agar mengizinkan kedatangan imigran Yahudi ke
Palestina. Usaha ini gagal. Namun dengan makar, Sultan Abdul Hamid bisa
ditaklukkan. Melalui tangan Mustafa Kemal Attaturk, Zionis berhasil menjinakkan
sultan sekaligus menghapus Sistem Pemerintahan Khilafah.
Saat itu, yahudi sudah
mulai menguasai eropa dengan kekuatan ekonomi melalui dinasti Rothschild.
Dimulai oleh Meyer Amschel Rotshchild. Kemudian dilanjutkan lagi oleh kelima
anaknya. Sehingga mereka hanya perlu menguatkan dan mengarahkan pengaruh yang
sudah ada di Inggris dan di negara-negara Eropa itu demi meraih cita-cita
mereka.
Gerakan Zionisme
bersama dengan beberapa politisi penting di Inggris, termasuk A.J. Balfour dan
Herbert Samuel bahu membahu dalam merealisasikan visi gerakan itu. Dan menurut
Ilan Pappe, keberhasilan utama mereka adalah dalam membangun kelompok lobi yang
kokoh, terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi, yang berpusat pada keluarga Rothschild.
Hasilnya adalah Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour ini
sebagai tonggak awal penguasaan zionis terhadap palestina. Pada tanggal 11
Desember 1917 Jenderal Allenby berhasil memasuki Kota Yuresalem dan di dalamnya
masuk pula sukarelawan yahudi. Segera setelah itu, sebagai simbol kembalinya
Spirit Judaisme di palestina, didirikan Hebrew University pada tanggal 24 Juli
1918 di Mount Scopus. Tempat dimana titus menaklukan Jerusalem pada tahun 69 M.
Zionis benar-benar
memanfaatkan Deklarasi Balfour. Setelah Kongres Zionis Internasional pimpinan
Weizmann, imigrasi yahudi ke palestina semakin digalakan. Langkah ini sebagai
upaya memperkuat posisi Yishuv (komunitas yahudi di palestina). Setahun setelah
kongres tersebut, jumlah yahudi di tanah palestina sudah mencapai 83.794 orang.
Meningkat pesat pada
tahun 1931 yang mencapai 174.616 orang. Dan menjelang pembagian palestina oleh
PBB tahun 1947, jumlah yahudi sudah mencapai 608.255 orang. Jumlah yang cukup
banyak jika dibandingkan dengan penduduk asli palestina yang berjumlah
1.237.332 orang.
Jumlah masyarakat
yahudi yang kian hari kian bertambah membuat mereka semakin berani. Dengan
menggunakan taktik kekerasan dan teror, pada tahun 1939 mereka
mengkonsolidasikan pengawasan dan penguasaan seluruh wilayah palestina dengan
kekuatan diplomasi dan militer.
Pada tanggal 29
November 1947, PBB mengeluarkan resolusi PBB No. 181 yang membagi wilayah
Palestina sebesar 54% kepada bangsa yahudi yang pada waktu itu hanya berjumlah
30% dari jumlah rakyat Palestina, dan 45% kepada bangsa arab, sedangkan 1%
yaitu Al-Quds dijadikan wilayah internasional.
Resolusi mendapat
protes keras dari bangsa-bangsa arab. Namun PBB tak bergeming. Akibatnya, 14
Mei 1948 secara berani dan ilegal Yahudi memproklamirkan berdirinya negara israel
di tanah merdeka dan syah Palestina.
Sehari kemudian,
negara baru yang ilegal tersebut diserbu oleh bangsa-bangsa arab yang tak
terima dengan dijajahnya plestina. Negara itu diantaranya adalah Iraq, Suriah,
Mesir, Yordania, Lebanon, dan negara arab lainnya.
Selain negara-negara
tersebut, terlibat pula di dalamnya organisasi massa. Setidak ada 3 organisasi
yang tergabung diantaranya:
1. Pasukan Al-Jihad
Al-Muqaddas, Adalah sebuah pasukan yang dibentuk oleh Lembaga Tinggi Arab untuk
Palestina dan dipimpin oleh Abdul Qadir Al-Husaini yang tewas dalam pertempuran
Al-Qasthal pada 8 April 1948. Pasukan ini terdiri dari kurang lebih 10.000
tentara dengan persenjataan yang tergolong kurang, karena para pemimpin
organisasi-organisasi arab bersekongkol dengan Lembaga Tinggi Arab untuk tidak
menyalurkan bantuan berupa senjata ataupun uang kepada mereka.
2. Pasukan Al-Inqadz.
Pasukan ini berdiri berdasarkan ketetapan dari Al-Jamiah–Al Arabiyah. Mayoritas
pionernya adalah sukarelawan dari negara-negara arab. Jumlah sukarelawan yang
terdaftar dalam pasukan ini kurang lebih adalah 10.000 orang, akan tetapi yang
berhasil masuk wilayah Mesir hanya sekitar 4.630 tentara.
3. Al-Ikhwan
Al-Muslimun. Keikutsertaan Al-Ikhwan Al-Muslimun pada perang Arab-Israel tahun
1948 menjadi salah satu contoh terbaik bagi gerakan dan organisasi arab yang
memperjuangkan keutuhan umat islam. Para pengikut gerakan ini bersatu dari
berbagai negara seperti Mesir, Yordania dan Iraq untuk mengadakan mobilisasi
masa bersar-besaran dan mengumpulkan bantuan harta benda juga senjata untuk
para tentara di Palestina.
Sayang bangsa arab
harus mengakui kekalahan mereka. Kekalahan dalam peperangan ini disebabkan
beberapa faktor diantaranya adalah kondisi militer yang belum cukup kuat dan
berpengalaman serta ekonomi yang lemah. Di lain pihak bangsa yahudi mendapat
bantuan dan dukungan internasional dari negara-negara yang merasa diuntungkan
dengan berdirinya negara Israel. Selain itu, pihak yahudi berhasil menyusupkan
beberapa utusannya untuk membuat konflik internal di tubuh bangsa arab dan
mengacaukan konsentrasi mereka.
Perang akhirnya
berakhir dengan ditandatanganinya gencatan senjata antara Israel dan
Negara-negara arab tetangganya pada tahun 1949. Dalam perjanjian tersebut juga
disepakati batas baru wilayah Negara Israel (green line) yang diakui secara
internasional. Batas baru Negara Israel yang disepakati ini termasuk wilayah
yang berhasil dikuasai Israel daram perang 1948 (sebagian wilayah yang tadinya
diperuntukkan sebagai Negara palestina merdeka).
Pada tahun 1956, Mesir
berulah. Mesir melarang kapal-kapal Israel melintasi perairan Tiran dan
memblokade teluk aqaba. Tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap
konvensi konstantinopel tahun 1888 dan mencederai gencatan senjata 1949 dengan
Israel. Pada tanggal 26 Juli 1956 Mesir menasionalisasi terusan suez dan melarang
kapal-kapal Israel melintas.
Pada tanggal 29
Oktober 1956, Israel yang merasa bahwa Mesir mencederai perjanjian 1949 dan
berusaha membunuh perekonomian Israel meminta bantuan dari Inggris dan Perancis
(yang sakit hati atas nasionalisasi terusan suez) untuk mengeroyok Mesir. Dalam
konflik terusan suez ini Israel berhasil menduduki Gaza (yang dalam perjanjian
49 merupakan wilayah Mesir) dan Sinai.
PBB dan Amerika
Serikat turun tangan untuk menghentikan konflik yang terjadi. Israel bersedia
mundur dari wilayah Mesir yang baru diduduki. Mesir mengijinkan kembali
kapal-kapal Israel melintasi terusan suez dan membuka blokade aqaba serta
melakukan demiliterisasi di wilayah Sinai. Pasukan internasional PBB dengan
nama UNEF dibentuk untuk mengawasi wilayah demiliterisasi.
Namun pada tahun 1967,
lagi-lagi mesir berulah. Mesir mengusir pasukan internasional dan menggelar
100.000 pasukan di semenanjung Sinai serta kembali melakukan blokade dan
pelarangan atas kapal-kapal Israel untuk melintasi Tiran straits. Mesir
mengembalikan keadaan seperti tahun 1956 ketika Israel diblokade.
Tahun 1966-1967
pemimpin Mesir Gamal Abd Nasser melakukan kampanye mencari dukungan dari
pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada 30 Mei 1967 Jordan
masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria.
Dengan persenjataan modern dari Soviet, Mesir melakukan mobilisasi pasukan di
Sinai dan melintasi batas demiliterisasi yang disepakati (setelah mengusir
pasukan PBB) dan mendekati perbatasan selatan Israel.
Dalam perang yang
terkenal dengan sebutan perang enam hari tersebut Israel berhasil mengalahkan
negara-negara arab tetangganya yang mengepungnya. Ketika perang berakhir,
Israel berhasil menguasai West Bank dan Jerusalem timur (yang tadinya dikuasai
Jordan) serta Gaza dan Sinai (yang dikuasai Mesir) dan dataran tinggi Golan.
Pada tahun 1969 mesir
kembali memulai perang dengan tujuan melemahkan kekuatan Israel di Sinai. Namun
perang ini berakhir dengan kematian Nasser.
Pada 6 Oktober 1973
Mesir dibawah pemimpin baru Anwar Sadat dan Syria melakukan serangan mendadak
dan berhasil mengalahkan Israel. Mesir berhasil menguasai kembali sinai yang
sempat dicaplok Israel.
Ketika pasukan Mesir
hendak masuk Israel, Israel meminta bantuan dari Amerika Serikat (meskipun
sejak awal Amerika Serikat merupakan backing kekuatan Israel). Soviet yang
menjadi backing kekuatan Mesir mengancam akan melakukan intervensi militer jika
Amerika terlibat. Karena khawatir akan terjadinya perang nuklir, Amerika
Serikat akhirnya memprakarsai gencatan senjata pada 25 Oktober 1973.
Pada bulan Maret 1979
Mesir dan Israel akhirnya melakukan perjanjian damai. Dalam perjanjian juga
disebutkan bahwa Sinai kembali menjadi wilayah kekuasaan Mesir, adapun Gaza
tetap berada dibawah kontrol Israel dan masuk dalam rencana masa depan
Palestina. Pada bulan Oktober 1994, Jordan juga akhirnya melakukan perjanjian
damai dengan Israel. Mesir dan Jordan menjadi dua Negara arab yang mengakui
eksistensi Negara Israel dan memiliki hubungan diplomatik dengannya.
Rangkaian perang
beruntun ini jelas telah menghabiskan banyak energi bagi Israel dalam rangka
mempertahankan eksistensinya di Palestina. Oleh karennya, harus ada tindakan
preventif untuk mencegah perang terulang.
Satu-satunya jalan
adalah menghancurkan benih-benih perlawanan sebelum mereka terlanjur besar.
Ketika mesir
kehilangan tokoh yang bisa diajak berkompromi dengan israel dan muncul kekuatan
baru yang dipolopori Ikhwanul Muslimin, muncul kekhawatiran israel. Mengingat
sejarah berbicara bagaimana mesir begitu sering mengusik eksistensi israel di
Palestina. Terlebih yang duduk di pucuk pimpinan Mesir adalah seorang hafidz
Al-Qur’an yang berafiliasi langsung dengan Ikwanul Muslimin.
Sejarah juga mencatat
bagaimana gencarnya Ikhwanul Muslimin melakukan perlawanan. Di setiap perang
arab, Ikhwanul Muslimin selalu berperan serta. Inilah mengapa sebelum Mursi
memegang tampuk pimpinan Ikhwanul Muslimin selalu dipersulit. Bahkan Presiden
Gamal Abdel Nassar di tahun 1954 telah mencoba menghancurkan Ikhwanul Muslimin.
Ia juga memenjarakan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin. Dan ini tak lepas dari
lobi Israel di Mesir.
Kekuatan massif
Ikhwanul Muslimin menjadi momok menakutkan bagi israel. Terlebih
kebijakan-kebijakan Mursi yang sangat tidak populer di mata Israel. Mursi
berani menghilangkan ketergantungan atas bantuan militer AS yang kemudian
berinteraksi dengan Rusia dan Jerman. Hasilnya, dalam dua bulan saja telah
dikirim dua kapal selam tercanggih dari Jerman. Langkah ini diprotes keras oleh
Israel.
Selain itu, Mursi juga
melakukan revitalisasi Terusan Suez. Ia mengganti direksi yang mengelola
Pelabuhan Suez yang di era Mubarak menghasilkan pemasukan sebanyak 5,6 miliar
dolar AS per tahun. Mursi menargetkan Suez sebagai hub ekonomi global dengan
penghasilan meningkat 100 miliar dolar AS per tahun. Akibatnya mengancam
perdagangan di Dubai dan Kuwait.
Politik cerdas Mursi
dicermati betul oleh PM Israel Benyamin Netanyahu. Menurutnya, “Sikap Mursi
jauh lebih berbahaya daripada nuklir Iran”. Sementara itu pemerintah AS memuji
inisiatif Mursi memfasilitasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel, hingga
terbukanya perbatasan Rafah mengakhiri blokade Jalur Gaza.
Karena itulah maka mau
tidak mau Mesir harus dihancurkan! Ia harus menyusul Iraq, Afganistan, Suriah,
dan negara-negara arab lainnya. Karena bagaimanapun, Mesir tidak bisa diajak
kompromi selagi Mursi masih membawa-bawa Ikhwanul Muslimin dalam setiap sikap
politiknya. Setidaknya mayoritas Ikhwanul Muslimin dan warga mesir
mendukungnya.
Demikian halnya dengan
suriah. Dendam kesumat israel begitu membuncah pada Masir dan Suriah. Maka
keduanya harus diporakporandakan. Di Mesir, tidak ada golongan yang bisa dipuci
untuk konflik. Tidak demikian di Suriah. Sejak awal Sunni dan Syi’ah memang
tidak pernah menyatu. Maka israel melihat ini sebuah peluang. Dipantiklah
konflik antara kedua golongan ini. Hasilnya? Suriah berdarah-darah sekarang.
Kesimpulan yang dapat
ditarik dari masalah ini adalah: siapa saja yang berani mengusik eksistensi
israel di Palestina, maka bersiaplah mendapat hukuman.
Kita hanya bisa
berharap pada Allah. Selain itu, NO WAY. Isi Protokol Zion sudah benar-benar
dijalankan dengan sempurna. Saat ini hampir tidak ada lagi sendi yang tidak
berafiliasi ke israel.
Tapi bukan tidak
mungkin. Masih ada di kolong bumi ini yang masih memegang teguh Islam. Buktinya
masih ada kelompok dan individu yang berani menyuarakan perlawanan pada
hegemoni yahudi.
Semoga kita satu diantaranya. Amiin…
No comments:
Post a Comment